Sabtu, 17 Maret 2012
DALIL ADANYA BID'AH HASANAH
Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ r إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ r ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ r «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم.
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ t قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ r فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري.
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ. رواه البخاري.
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ r وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ. رواه البخاري.
“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”
Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ.
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.” Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.
Di Islamic Center Jakarta Utara
Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia.
Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.
Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.
Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤).
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.
Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).
BAHAYA WAHABI
Nabi saw. menyebutkan bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah pembangunan Bayt al-Maqdis di Yerusalem dan penghancuran Yatsrib (Madinah). Sebuah hadis dari Mu’âdz ibn Jabal, Nabi saw. berkata (bahwa di antara tanda-tanda akhir zaman adalah), “Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, penghancuran Yatsrib dan penghancuran Yatsrib, munculnya pembantaian dan pertempuran dahsyat atau pertikaian berdarah, penaklukan Konstantinopel dan kemunculan Dajjal.” Lalu Nabi saw. menepuk paha Mu’âdz sambil berkata, “Sungguh, itu merupakan kebenaran, seperti halnya kenyataan bahwa kamu sedang duduk saat ini.” Kita mungkin akan berpikir bahwa untuk membangun Yerusalem (Al-Quds) berarti membangun gedung-gedung tinggi beserta tampilan peradabannya yang bisa kita saksikan saat ini, dan bahwa di Madinah tidak akan ada “peradaban” semacam itu. Namun, di Madinah telah dibangun gedung-gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel, terowongan-terowongan menuju masjid, dan perluasan masjid. Semua ini tampaknya bertolak belakang dengan hadis yang menyebutkan bahwa Madinah akan hancur. Ketika kita cermati hadis itu lebih dalam, kita melihat bahwa Nabi saw. tidak menyebutkan bahwa seluruh kota Yerusalem akan dibangun, tetapi Bayt al-Maqdis akan diperbaiki. Al-Quds mencakup seluruh Yerusalem, dan Bayt al-Maqdis adalah kawasan suci tempat Nabi Muhammad saw. naik ke langit dalam rangka Isra dan Miraj. Ucapan Nabi saw. tidak mencakup seluruh bangunan di Yerusalem, seperti yang disebutkan dalam hadis, “pemugaran kembali Bayt al-Maqdis,” yang secara khusus menyebutkan bayt (rumah) untuk menekankan bangunan yang akan dipelihara dan dipugar, termasuk bangunan di sekelilingnya, seperti monumen dan benda-benda sejarah. Kawasan tersebut telah dijaga selama berabad-abad, dan dipelihara dalam bentuknya yang asli. Melalui pengetahuannya yang diberikan oleh Allah, Nabi Muhammad saw. telah melukiskan peristiwa itu 1400 tahun yang lalu. Seperti yang disebutkan terdahulu, situasi Madinah saat ini, dengan bangunan-bangunannya modern, tampak bertolak belakang dengan hadis yang menyebutkan bahwa Madinah akan mengalami penghancuran. Namun, dengan pencermatan yang lebih saksama, kita mengetahui bahwa Nabi saw. secara khusus menyebutkan bahwa Yatsrib, bukan Madinah, akan dirusak. Pernyataan Nabi yang sangat akurat itu mengungkapkan makna yang bisa dipahami dalam konteks modern. Yatsrib adalah kota Nabi tempat munculnya cahaya pengetahuan yang menyinari dunia. Ia merupakan tempat berdirinya pemerintahan Islam yang pertama, dan sumber banyak prestasi para sahabat. Kharâb Yatsrib berarti bahwa peradaban kota tua Madinah (yang dulu dikenal dengan nama Yatsrib) akan rusak. Dampaknya adalah bahwa segala peninggalan klasik dan tradisional dalam Islam akan dihancurkan pada masa-masa sebelum datangnya Kiamat. PENGRUSAKKAN BANGUNAN MONUMENTAL ISLAM OLEH KAUM WAHABI Pengrusakkan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebarkan versi Islam dengan pemahaman yang dangkal, yang mendiskreditkan dan meremehkan tradisi-tradisi klasik. Kini, kita menyaksikan kemunculan sekelompok orang yang menentang setiap aspek Islam tradisional, Islam arus utama, yang telah dipelihara oleh umat Islam selama lebih dari 1400 tahun. Kelompok tersebut ingin mengubah seluruh pemahaman keagamaan dengan menawarkan Islam “modernis” mereka. Orang-orang tersebut merupakan kelompok minoritas di tubuh umat Islam.Gagasan-gagasan mereka yang penuh penyimpangan telah disanggah dan ditolak dari berbagai sisi oleh para ulama Islam, seperti yang telah banyak ditulis orang. Tidak ada yang namanya Islam itu dimodernkan, diperbaiki, ataupun dibenahi. Islam adalah agama yang sempurna, sejak pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad saw. hingga Hari Kiamat. Allah Swt telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan atasmu nikmatku, dan telah Kuridai Islam menjadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah [5] ayat:3) Islam adalah pesan terakhir dan pastilah mampu mengakomodasi semua kehidupan manusia hingga akhir masa. Islam dapat merangkul semua jenis kebudayaan tanpa sedikit pun menambah atau mengurangi makna Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada reformasi, renovasi, penambahan, atau pengurangan dalam Islam. Sementara Islam sendiri tidak mengenal reformasi, orang-orang Islam sendiri-lah yang perlu mereformasi diri sehingga mereka dapat memahami dan melaksanakan Islam dengan benar. Dalam kesempurnaannya, Islam mirip dengan bulan purnama: bulatnya tidak kurang dan tidak lebih. Kharâb (Penghancuran) Yatsrib disebutkan 2 kali dalam hadis di atas. Kali pertama adalah penghancuran peradaban pengetahuan Nabi saw, yaitu pengrusakan agama dalam bentuk penyimpangan terhadap pesan-pesan Nabi saw. Mereka (kaum Wahabi) yang mengklaim diri sebagai “pembaharu Islam” berusaha menyuguhkan hal-hal baru untuk menggantikan dan menghapus hal-hal klasik dan tradisional dalam Islam. Aliran Wahabi inilah yang pertama kali mengajukan pemahaman yang sepenuhnya baru tentang Islam, dengan kedok “pemurnian” Islam. Ideologi Wahabisme ini telah merusak Islam tradisional atas nama “pemurnian” Islam, seakan-akan semua orang Islam sebelum munculnya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb telah tersesat. Alih-alih membawa pemurnian, ia justru telah menghancurkan ilmu-ilmu dan praktik keislaman yang telah berakar selama berabad-abad. Semua hal yang telah diwariskan Nabi saw. dan generasi Islam sepeninggal beliau tiba-tiba dicap sebagai bentuk penyembahan berhala (syirik) yang harus dimusnahkan. Orang-orang Islam yang melaksanakan ibadah haji dijejali dengan bahan-bahan bacaan dan propaganda mereka, sehingga para jemaah itu menganggap bahwa keyakinan dan praktik tradisional mereka bertentangan dengan Islam. Sekte Wahabi meragukan tradisi keilmuan yang telah berusia 1400 tahun, dan melontarkan tuduhan kufur, syirik, bidah, dan haram terhadap berbagai praktik dan pemahaman tradisional. Kerusakan pertama yang menimpa Yatsrib adalah ketika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menghancurkan ilmu-ilmu “keislaman” dengan cara meracuni pemahaman orang-orang Islam terhadap agama mereka. Ungkapan Kharâb Yatsrib yang kedua merujuk pada penghancuran fisik terhadap bangunan dan monumen yang berasal dari masa Nabi di Yatsrib, kota Madinah klasik. Di Madinah memang telah terjadi perluasan Masjidil Haram, tetapi kenyataan tersebut tidak bertolak belakang dengan ungkapan “kharâb Yatsrib” karena hadis tersebut merujuk pada kota tua Madinah yang dikenal dengan Yatsrib, dan semua yang mewakilinya. Segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan Nabi telah dipelihara oleh orang-orang Islam selama bertahun-tahun, apakah masjid tua, benda-benda sejarah, atau makam rasul, para sahabat, istri, dan anak-anaknya. Meskipun orang-orang Islam selama berabad-abad sepakat bahwa situs-situs tersebut merupakan bagian penting dalam sejarah dan tradisi Islam, semuanya dihancurkan oleh aliran Wahabi dengan menggunakan dalih bahwa “semua itu bukan lagi Islam”. Pemahaman mereka yang dangkal terhadap Islam mengakibatkan penghancuran sejumlah benda peninggalan sejarah dan monumen. Kharâb berarti “penghancuran,” tetapi kata ini juga bermakna peruntuhan.” Memang, kantong-kantong tradisi klasik masih ada, dan hendak dibangun kembali oleh umat Islam, tetapi mereka tidak diperkenankan membangunnya kembali, sehingga yang tersisa hanyalah reruntuhan dan puing-puing bangunan. Tidak ada lagi orang yang mengetahui lokasi kuburan para sahabat. Di Gunung Uhud dekat Madinah, kita bisa menyaksikan puing-puing bangunan yang awalnya merupakan makam yang dilengkapi dengan kubah dan hiasan-hiasan indah. Dengan makam yang terlihat jelas, bangunan suci itu mengenang para sahabat yang gugur bersama Hamzah di Gunung Uhud. Kini, hanya ada reruntuhan dinding yang diabaikan oleh para pengunjung. Demikian pula halnya, sudah tidak ada lagi bekas-bekas yang menunjukkan makam para syuhada Badar. Juga, tidak ada lagi tanda kuburan istri Nabi, Khadîjah al-Kubrâ di Jannat al-Mu’ala, Mekah. Di Jannat al-Baqî’ (permakaman yang bersebelahan dengan makam dan Masjid Nabi di Madinah), makam ‘Utsmân, ‘Â’isyah dan sejumlah sahabat telah dipelihara oleh penguasa ‘Utsmani hingga awal abad ke-20, namun jejak-jejaknya kini telah dihilangkan. Hal itu merupakan pengrusakan fisik terhadap peradaban Islam yang ada sejak Nabi saw. tinggal di Yatsrib. Dengan perlahan-lahan dan diam-diam, para pengikut sekte Wahabi telah melenyapkan semua hal yang terkait dengan Nabi saw. dan Islam tradisional, sehingga saat ini nyaris tak tersisa. Di samping Ka’bah di Mekah al-Mukarramah terdapat Maqâm Ibrâhîm, yang memuat jejak kaki Nabi Ibrâhîm ketika beliau membangun Ka’bah. Allah berfirman: Dan ingatlah ketika Kami menjadikan Baitullah sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian Maqâm Ibrâhîm sebagai tempat salat. (Q 2:125) Meskipun demikian, otoritas keagamaan Wahabi atau salafi di Mekah pernah mencoba melenyapkan Maqâm Ibrâhim. Itu terjadi pada masa almarhum Syekh Mutawallî al-Sya’râwî dari Mesir yang memberi tahu Raja Faisal tentang rencana mereka, sehingga raja memerintahkan mereka agar membiarkan Maqâm Ibrâhîm di tempatnya semula. Raja berdiri menentang mereka dalam persoalan serius itu, tetapi banyak kejadian serupa di mana beliau hampir mustahil menahan gelombang pengrusakan terhadap benda-benda peninggalan dan tradisi Islam. Hingga 1960-an, makam ayah Nabi di Madinah ditandai dengan tulisan di dinding sebuah rumah dekat Masjid Nabawi, tetapi tanda itu kini sudah lenyap. Di Masjid Nabawi, semua dinding dan tiang masjid awalnya dihiasi dengan puisi-puisi pujian terhadap Nabi saw. Para pengikut aliran Wahabi kemudian menghilangkan hiasan-hiasan itu, baik dengan mengganti dinding marmer itu, atau menghapusnya hingga tidak terlihat lagi hiasan puisi yang tersisa. Satu-satunya hal yang tidak dapat mereka lenyapkan adalah tulisan di depan mimbar pada mihrab (tempat salat imam) yang berisi pujian kepada Nabi saw. dan 200 nama beliau. Pada tahun 1936, orang-orang Wahabi bahkan berusaha memisahkan Masjid Nabawi dari makam Nabi, tetapi negara-negara Muslim bersatu menentang rencana tersebut dan berhasil menggagalkannya, sebuah keberhasilan yang sangat jarang terjadi. Di depan gerbang menuju makam Nabi (al-muwâjihâh al-syarîfah), pada awalnya terdapat tulisan: Yâ Allâh! Yâ Muhammad! Pengikut aliran Wahabi kemudian menghapus huruf yâ’ dalam ungkapan Yâ Muhammad, sehingga hanya tersisa huruf alif, Â Muhammad, atau Muhammad saja. Belakangan, mereka melangkah lebih jauh lagi dengan menempatkan kembali huruf yâ’ pada kata Yâ Muhammad, dan juga menambahkan titik di bawah huruf hâ’ sehingga menjadi huruf jim (ﺝ), dan menambahkan dua titik (di bawah huruf mîm) sehingga menjadi huruf yâ’. Dengan begitu, mereka telah mengubah nama Muhammad menjadi Majîd, salah satu asma Allah. Kini, tulisan tersebut menjadi: Yâ Allâh! Yâ Majîd! Persis seperti ketika melenyapkan makam para sahabat dan keluarga Nabi, mereka kini juga telah menghapus nama Nabi dari makamnya sendiri. Ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah telah memuliakan Nabi saw. dengan menempatkan nama beliau bersanding dengan nama-Nya dalam kalimat syahadat, Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûl Allâh. Khârab Yatsrib yang disebutkan 2 kali dalam hadis di atas telah terpenuhi. Pertama, dari segi ideologi oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb dan para pengikutnya. Dan kedua, dengan kerusakan fisik yang terus berlangsung terhadap sisa-sisa Islam tradisional. Pembangunan kembali Bayt al-Maqdis, yang hanya sekali disebut, juga sedang berlangsung. Ungkapan ‘Umrân Bayt al-Maqdis berarti pembangunan kembali peninggalan-peninggalan klasik di Yerusalem, sementara ungkapan Kharâb Yatsrib berarti penghancuran terhadap cara-cara dan peninggalan klasik di kota Yatsrib Kesaksian Penerjemah : Saya hanya ingin menambahkan sedikit saja tentang kehancuran Kota Madinah, yang baru-baru saya saksikan secara langsung ketika mengunjungi kota Madinah Al-Munawwaroh 17-20 Juli 2005. Itung-itung cerita ini sebagai oleh-oleh dari Madinah ya…Dari segi kemajuan tekhnologi tata ruang bangunan dan interior sebuah kota, saya menilai Madinah sangat cantik dan modern serta memiliki kemajuan yang sangat pesat sekali, terutama bangunan-bangunan di seputar Masjid Nabawi dan tempat-tempat sekitar radius 5-10 kilometer dari Masjid Nabawi. Namun dari sudut pandang sejarah, kota ini seakan-akan tidak memiliki lagi latar belakang sejarah kegemilangan Islam di masa lalu. Secara pribadi saya amat sangat menyayangkan situs-situs sejarah banyak yang dihilangkan oleh pemerintah KSA yang berfaham wahabi, seakan-akan kota ini ingin dirubah seperti newyork atau ala singapura. Perubahan ini terjadi dimulai sejak era tahun 1990-an, dimana kebetulan tahun 1993 saya juga pernah mengunjungi kota ini selama 9 hari. Perubahan yang terjadi dari hasil pengamatan saya adalah :1. Pemakaman syuhada baqi, kalau dulu tahun 1993 kita masih bisa ziarah dan memandang ke makam baqi dengan hanya berdiri seperti halnya bila kita berdiri diluar tempat pemakaman umum di Indonesia.Tapi perubahan yang sekarang adalah, pemakaman baqi tidak bisa dilihat atau diziarahi hanya dengan berdiri karena pemakaman itu sekarang sudah dikurung dengan tembok berlapis marmer setinggi kira-kira 6-10 meter tingginya, sehingga kalau kita mau berziarah dan melihat makam syuhada baqi harus menaiki anak tangga dulu sekitar 5 meter. Disamping itu kalau dulu kita bebas berziarah kapan saja waktunya sesuai dengan keinginan kita, tapi sekarang tidak sembarang waktu bisa kita lakukan, kecuali antara pkl 07.00 sampai pkl.8.30 pagi waktu setempat. walaupun kita terlambat 5 menit saja, jangan berharap anda bisa menaiki anak tangga karena diujung anak tangga sudah di tutup pintu besi setinggi 3 meter-an, dan bilamana sudah pkl.08.30 anda masih saja berada di atas sana, askar2 kerajaan akan segera menarik-narik badan anda untuk segera keluar dari sana. Jadi memang sekarang sangat dibatasi ruang maupun waktu dalam menziarahi maqam baqi ini. Dan yang mengenaskan saya adalah, dibawah tembok setinggi 6-10 meter itu sekarang sudah dibuat kios-kios kecil sebagai tempat usaha para pedagang menjajakan barang dagangannya. Entahlah… mungkin 15-20 tahun kedepan Maqam baqi mungkin sudah tidak ada lagi dan areal pemakamannya sudah dijadikan gedung pasar yang modern. Menurut penilaian saya, penutupan areal pemakaman dengan tembok setinggi 6-10 meter saat ini hanya sebagai awal saja, dengan maksud supaya orang tidak lagi secara bebas berziarah kesana, sehingga lama-kelamaan orang akan lupa untuk berziarah ke maqam Baqi ini. Akhirnya setelah orang melupakan areal ini, generasi berikut tak ada lagi yang mengetahui dimana areal pemakaman baqi, selanjutnya mungkin akan dijadikan gedung pertokoan, siapa tahu…? 2. Masjid Qiblatain, (masjid 2 kiblat), dulu tahun 1993 masjid ini memiliki 2 mimbar, satu menghadap Makkah, satu lagi menghadap Baytul Maqdis.Pada mimbar baytul maqdis tertulis dengan berbagai bahasa termasuk dalam bahasa indonesia, yang menceritakan bahwa mimbar ini sebelumnya digunakan sebagai mimbar Rasulullah SAW ketika shalat menghadap baqtul maqdis, namun setelah turun ayat (al-Isra..?) yang memerintahkan untuk merubah qiblat dari menghadap masjidil aqsha ke masjidil harom, Rasulullah SAW berpindah ke mimbar yang sekarang menghadap Masjidil harom (mimbar ke 2).Tapi sekarang ; mimbar yang menghadap Masjidil Aqso sudah dihilangkan sehingga tidak ada tanda lagi bahwa masjid ini memiliki 2 kiblat, sehingga sudah hilang nilai sejarahnya. “Masjid qiblatain” hanyalah tinggal sebuah nama saja, mimbarnya tinggal 1, sepantasnya namapun berubah menjadi Masjid Qiblat, karena mimbarnya hanya satu. 3. Parit (Khandaq) - yang pernah digunakan Rasulullah SAW untuk menghalau musuh dalam peperangan Khandaq atau Ahzab- pada tahun 1993 masih ada berupa gundukan tanah yang digali seperti lobang saluran air yang panjang, tapi kini Khandaq hanya tinggal nama, lokasinya sudah diuruk rata. 4. “Tanah basah” tempat dimana Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh pada perang Uhud, sekarang sudah ditutup dengan aspal yang tebal dan dijadikan lokasi parkir kendaraan. Tapi anehnya, walupun sudah dilapisi dengan aspal, aspalnya tetap basah hingga sekarang walaupun sudah 14 abad terpanggang sinar matahari. Konon tanah ini tetap menangis selama-lamanya karena ditumpahi darah. Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib ra, adalah seorang yang sangat gagah berani di medan Uhud, dan mati syahid dibunuh oleh budak Hindun, isteri Abu Sufyan, dan ibu dari Muawiyyah. 5. Kota Madinah sebetulnya memiliki sebuah sumur abadi seperti halnya sumur zam-zam di Makkah, perbedaannya kalau sumur zam-zam itu asalnya adalah peninggalan Nabi Ibrahim AS, ketika Siti Hajar istrinya mencarikan air untuk memberi minum putranya Nabi Ismail AS. Tapi kalau di Madinah adalah peninggalan Rasulullah SAW, yang masih tetap mengeluarkan air hingga sekarang. Namanya adalah sumur “Tuflah”, lokasinya dipinggiran kota Madinah. Tuflah asal katanya berarti air ludah, konon kata kuncen penjaga sumur ini, sumur ini dibuat semasa Rasulullah SAW dalam perjalanan menuju kota Madinah, namun ketika itu kehabisan persediaan air. Akhirnya Rasulullah SAW dengan mu’jizatnya meludahi dengan air ludahnya sendiri suatu tempat di padang pasir yang gersang itu, dan saat itu juga tanah itu mengeluarkan air dan hingga sekarang dijadikan sebuah sumur yang airnya sangat jernih sejernih zam-zam, dan tetap mengalirkan air hingga sekarang. Saya mencoba minum dan berwudhu dari air sumur ini, memang terasa sangat nikmat bagaikan meminum air zam-zam. Tapi sangat disayangkan, sumur ini sudah jelas sebagai peninggalan sejarah dimasa Rasulullah SAW, tidak dilestarikan sama-sekali bahkan dibiarkan saja oleh Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia yang beraliran Wahhabi sehingga nampak kusam dan tidak terurus sama-sekali. Mungkinkah kaum Wahabi tidak terlalu suka pada peninggalan Rasulullah SAW? Kata kuncen penjaga, kebanyakan orang-orang yang mengunjungi sumur ini adalah orang-orang Ahlus-Sunnah yang mencintai Ahlul-Bayt, termasuk Anda, Anda dari Indonesia?, katanya…Tapi maaf, disini anda tidak boleh berlama-lama melancong, karena setiap 2 jam sekali ada patroli dari Askar kerajaan dan mata-matanya (spionase) yang mengawasi orang-orang yang berkunjung kesini. Saya khwatir anda ditangkap oleh tentara wahabi. Maka bila anda sudah minum dan berwudhu silakan anda segera pergi dari sini. Wa min Allah at Tawfiq
ISTILAH SALAFY DAN SALAFIYAH
Istilah Salafy atau Salafiyah bagi sebagian orang sudah dianggap cukup sebagai identitas komunitas, tetapi kenyataannya banyak pihak yang mengklaim istilah itu, sedang mereka saling berselisih satu sama lain. Jika Salafiyah dalam istilah yang berlaku dikalangan NU, sejak kecil penulis sudah mengetahui, sebab dibesarkan dalam lingkungan yang kental bertradisi NU. Salafiyah yang benar ialah yang merujuk kepada Para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in Radhiyallahu ‘Anhum. Sebagaimana firman Allah, “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama (masuk islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengkuti mereka dengan baik, Allah akan ridha kepada mereka dan mereka pun (juga) ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan untuk mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah :100) Mereka juga disebut sebagai Khairu Ummah (Sebaik-baik Umat), “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia.” (QS. Al-Imran ; 110)
Adapun Salafiyah menurut NU umumnya didefinisikan sebagai, “Fikihnya ikut Imam Syafi’i, (meskipun NU mengakui empat madzhab yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali), akidahnya ikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Manshur Al-Maturidi, dan tasawufnya ikut Imam Al-Ghozali.”
Sebagian orang berkata, “Ana Salafy” (Aku ini Salafy), sebagian yang lain juga mengatakan kalimat yang sama, tetapi dalam pergaulan mereka saling bermusuhan (meskipun belum sampai bermusuhan fisik). Orang-orang yang melihat kenyataan ini pun menjadi heran, maka bertanya-tanya, “Lalu siapakah sebenarnya Salafy?” Begitu pertanyaan selesai diucapkan, pihak-pihak yang berselisih itu seketika menjawab dengan tegas, “Kami Salafy, sedang mereka bukan!”
Dengan realita perpecahan seperti diatas tidak mungkin jika kita hanya menggunakan istilah Salafy, sebab komunitas-komunitas Salafy itu ternyata berbeda-beda pandangan dan pendiriannya. Begitu pula tidak mungkin kita keluarkan mereka semua dari Salafiyah, sebab mereka memang mengikuti ajaran-ajaran Salafush Shalih. Paham Salafiyah masuk ke Indonesia bermacam-macam warnanya. Warna yang paling asli ialah dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahab yang dibawa oleh ulama-ulama Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Di era moderen, Salafiyah masuk melalui beberapa jalur, antara lain melalui buku-buku, media, proses pendidikan, kerjasama kelembagaan, dan jalur gerakan dakwah Salafiyah. Jalur buku berupa buku asli (berbahasa Arab), juga berupa terjemahan dari kalangan ulama-ulam Timur Tengah. Jalur media melalui majalah, buletin, internet, kaset-kaset, VCD dll. Jalur pendidikan berupa pengiriman pemuda-pemuda yang dikirim untuk belajar di Timur Tengah. Kerjasama kelembagaan berupa bantuan buku-buku dan fasilitas belajar, pembangunan perpustakaan, masjid dll. Dan jalur gerakan dakwah Salafiyah berupa pendidikan kader da’i, pembukaan majlis-majlis taklim dll.
Selama ini muncul kesan kuat komunitas Salafiyah di Indonesia terpecah dalam dua kelompok besar yang satu sama lain saling “bermusuhan”. Satu kelompok biasa disebut Salafy Yamani yang merupakan jaringan para da’i Salafy yang merujuk kepada syaikh-syaikh Salafy di Yaman dan Timur Tengah. Sedang satu kelompok lagi ialah Salafy Haraki, yaitu dakwah Salafiyah yang menerapkan sistem pergerakan (Harakah).
Kedua kelompok di atas sama-sama Salafy tetapi uniknya keduanya mempunyai perbedaan-perbedaan significant dalam pemikiran dan perilaku dakwahnya, sehingga keduanya tidak mungkin disatukan dalam satu sebutan. Pasalnya, Salafy Yamani sangat menolak metode pergerakan (harakiyyah), sebab hal itu dianggap sebagai bid’ah dan merupakan praktek fanatisme (hizbiyyah). Sedang Salafy haraki membutuhkan sistem untuk membina dakwah di tengah berbagai fitnah kehidupan di jaman moderen. Di kalangan Salafy Yamani ada istilah yang dipakai menyebut Salafy haraki dengan nama Sururi atau Sururiyah. Karena tokoh perintis paham ini bernama Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin. Adapun Salafy Yamani sendiri sebagai tokohnya ialah Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dari Makkah dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dari Yaman. Perselisihan antara kelompok Salafy Yamani dengan haraki sangat tajam. Pihak Yamani menyebut haraki sebagai ahlul bid’ah sehingga berhak merendahkan serendah-rendahnya, begitu juga sebaliknya.
Hal itu diperparah dengan sebab perbedaan pemahaman dijadikannya alat untuk saling menjatuhkan, menghakimi, mengingkari, menjauhi, memusuhi (sekalipun bukan permusuhan fisik) bahkan terkadang saling mengkafirkan satu sama lain. Suasana seperti ini jelas menguntungkan musuh-musuh islam yang menghendaki adanya perpecahan dan permusuhan. Sedang umat islam tidak adar bahwa telah dirugikan oleh ulahnya sendiri.
Singkatnya, jadikanlah ilmu, iman dan amal sebagai tolak ukur dalam meraih keridhoan Allah SWT. Jauhkan perselisihan dengan alasan perbedaan, dan jadikanlah itu sebagai rahmat. Karena misi islam adalah menyebar kasih sayang bagi seluruh alam. Wallahu A’lam
MEMBONGKAR KESESATAN WAHABI (MEMBAGI TAUHID MENJADI 3)
Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut. Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah.
Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:
أمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىّ يَشْهَدُوْا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّيْ رَسُوْل اللهِ، فَإذَا فَعَلُوْا ذَلكَ عُصِمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأمْوَالَهُمْ إلاّ بِحَقّ (روَاه البُخَاريّ)
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).
Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah medapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
Tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul seperti itu tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah. Demikian pula ketika mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tujuan mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan mereka mengatakan: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.
Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah. Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi sebagai seorang muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya; sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan ”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”. Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak. Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.
Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:
”Tauhid Ulûhiyyah masuk dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna ”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”, tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid Ulûhiyyah.
Di antara yang sangat mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh. Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan ”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang juga ”Ilâh” mereka. Maka ketika mereka berkata ”Lâ Ilâha Illallâh”; bahwa hanya Allah Rabb mereka yang berhak disembah; artinya mereka menafikan Ulûhiyyah dari selain Rabb mereka, sebagaimana mereka menafikan Rubûbiyyah dari selain Ilâh mereka. Mereka menetapkan ke-Esa-an bagi Rabb yang juga Ilâh mereka pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan pada segala perbuatan-Nya; artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi”.
(Masalah): Para ahli bid’ah dari kaum Musyabbihah biasanya berkata: ”Sesungguhnya para Rasul diutus oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
(Jawab): Perkataan mereka ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?! Adapun pengertian ayat di atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai ahli tauhid?! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid Ulûhiyyah! Oleh karena itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk mentauhidkan Allah:
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرّقُوْنَ خَيْرٌ أمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهّار (يوسف: 39
”Adakah rabb-rabb yang bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).
Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.
Perkataan kaum Musyabbihah dalam membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh) adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas. Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah, dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata “Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.
Dalam majalah Nur al-Islâm, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang sangat baik dengan judul “Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah” yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:
[[“Sesungguhnya pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah, pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseorang yang hendak masuk Islam, Rasulullah tidak mengatakan kepadanya bahwa tauhid ada dua macam. Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa engkau tidak menjadi muslim hingga bertauhid dengan tauhid Ulûhiyyah (selain Rubûbiyyah), bahkan memberikan isyarat tentang pembagian tauhid ini, walau dengan hanya satu kata saja, sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Demikian pula hal ini tidak pernah didengar dari pernyataan ulama Salaf; yang padahal kaum Musyabbihah sekarang yang membagi-bagi tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah tersebut mengaku-aku sebagai pengikut ulama Salaf. Sama sekali pembagian tauhid ini tidak memiliki arti. Adapun firman Allah:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
Ayat ini menceritakan perkataan orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah, bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:
إِن نَّقُولُ إِلاَّ اعْتَرَاكَ بَعْضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوءٍ (هود: 54)
”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).
Sementara Ibn Taimiyah berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah berkata semacam ini?! Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang perkataan-perkataan orang kafir tersebut:
وَجَعَلُوا للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا للهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَاكَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلاَيَصِلُ إِلَى اللهِ وَمَاكَانَ للهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَآئِهِمْ (الأنعام: 136)
”Lalu mereka berkata sesuai dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am: 136).
Lihat, dalam ayat ini orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka atas Allah dalam perkara-perkara sepele.
Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:
و َمَانَرَى مَعَكُمْ شُفَعَآءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاؤُا (الأنعام: 94)
”Dan Kami tidak melihat bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala) yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara kamu”(QS. al-An’am: 94).
Dalam ayat ini dengan sangat nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.
Lihat, apa yang dikatakan Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu berhala terbesar mereka). Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan: ”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha Agung).
Anda pahami teks-teks ini semua maka anda akan paham sejauh mana kesesatan mereka yang membagi tauhid kepada dua bagian tersebut!! Dan anda akan paham siapa sesungguhnya Ibn Taimiyah yang telah menyamakan antara orang-orang Islam ahli tauhid dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala tersebut, yang menurutnya mereka semua sama dalam tauhid Rubûbiyyah!”]].
KELEBIHAN SAYYIDINA MUHAMMAD SAW
Kemulian dan Keistimewaan Nabi Muhammad oleh Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwiy Al-Maliki Al-Hasani
Kemulian dan Keistimewaan Nabi Muhammad oleh Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwiy Al-Maliki Al-Hasani
Published on February 15, 2010 in Bulan Mawlid / Rabiul Awal, Mencintai Rasullullah dan Ahlul Bait, Artikel Islam and Habib.
Di dalam Kitab “Muhammad s. a. w. Insanul Kamil”, karangan Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwiy Al-Maliki Al-Hasani, ada menyatakan beberapa perkara mengenai kemulian dan keistimewaan Nabi Muhammad yang diutuskan sebagai rasul yang terakhir yang sentiasa menyeru manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat, iantaranya ialah:
1. Muhammad Rasulullah s. a. w. adalah manusia pertama yang diciptakan Allah swt iaitu ketika Nabi Adam a.s masih dalam keadaan antara roh dan jasadnya ( dari hadith riwayat Tirmizi).
2. Allah telah menetapkan bahawa semua nabi bermula dari Nabi Adam hinggalah Nabi Isa a.s terikat dengan janji bahawa mereka akan beriman dan seterusnya membela atau membantu Rasulullah s. a. w. Firman Allah yang bermaksud: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. ( Surah Ibrahim : 81).
3. Silsilah atau asal-usul keturunan baginda s.a.w. bermula dari Nabi Adam a.s hinggalah Abdullah bin Abdul Mutalib tidak terdapat seorang pun di antara mereka yang pernah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. (dari hadith yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lain-lain).
4. Pada saat kelahiran baginda s. a. w., bondanya melihat cahaya memancar menerangi istana-istana megah di Syam (diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal).
5. Pada saat baginda SAW sedang berjalan di tengah terik panas matahari, terdapat gumpalan awan memayunginya. (diriwayatkan oleh Abu Naim dan lain-lain).
6. Pernah terjadi ketika mana baginda s.a.w. sedang berjalan dan hendak berteduh di bawah sepohon pokok, pokok itulah yang bergerak mendekati baginda. (diriwayatkan oleh Al-Baihaqi )
7. Ketika baginda SAW masih kanak-kanak, ketika baginda sedang bermain-main datanglah Malaikat membelah dadanya dan mensucikan hatinya. ( diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain)
8. Pada waktu Baginda menerima wahyu pertama di Gua Hira’, Jibril a.s memeluk Baginda sebanyak 3 kali. ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
9. Allah s. w. t. memberi nama ‘Muhammad’ kepada baginda yang berasal dari perkataan ‘hamada’ (puji). Ianya merupakan kata akar bagi salah satu sifat Allah iaitu ‘Mahmud’ (Maha Terpuji). Sebelum itu tidak ada seorang pun yang bernama seperti baginda s. a. w. ( diriwayatkan oleh Muslim )
10. Baginda s. a. w. sering lapar di malam hari kerana tidak mempunyai makanan , namun keesokan harinya baginda akan berasa kenyang. Allah swt jua yang dengan kekuasaan ghaibnya memberi ‘makan-minum’ kepada baginda s.a. w. hinggakan baginda tidak berasa lapar atau haus ( diriwayatkan oleh Muslim).
11. Baginda s. a. w. dapat melihat sesuatu yang dibelakangnya dengan jelas seolah-olah baginda melihat dari arah hadapannya. ( diriwayatkan oleh Muslim).
12. Di waktu malam yang gelap-gelita, baginda s. a. w. dapat melihat sesuatu dengan jelas dan terang seolah-olah seperti baginda sedang melihatnya di waktu siang (diriwayatkan oleh Al-Baihaqi ).
13. Ludah baginda s. a. w. dapat menjadikan air laut yang masin menjadi tawar (diriwayatkan oleh Abu Naim).
14. Suara baginda s. a. w. dapat didengari oleh orang yang berada pada jarak yang kebiasaannya susah untuk mendengar. ( diriwayatkan oleh Bukhari).
15. Baginda s. a. w. hanya tidur dengan mata, sedangkan hatinya tetap tidak tidur. ( diriwayatkan oleh Bukhari ).
16. Baginda s. a. w. tidak pernah menguap. (diriwayatkan oleh Abu Syaibah dan lain-lain. Dikemukakan juga oleh Al-Khatabiy ).
17. Selama hidup baginda s. a. w. tidak pernah ihtilam (mimpi syahwat) sama seperti para Nabi dan Rasul sebelumnya. ( diriwayatkan oleh Tabrani).
18. Peluh (Keringat) baginda sama-sekali tidak berbau. ( diriwayatkan oleh Abu Naim dan lain-lain ).
19. Apabila Baginda s. a. w. berjalan di samping orang bertubuh tinggi, baginda nampak lebih tinggi. (diriwayatkan oleh Al-Baihaqi).
20. Allah s. w. t. telah memperjalankan Baginda pada malam hari dari Masjidul Haram di Mekah ke Masjidul Aqsa di Palestin. Firman allah di dalam al-Quran: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebahagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Surah Al-Israa’ : 1)
21. Allah s. w. t. telah menurunkan Malaikat bagi membantu baginda semasa peperangan Badar dan peperangan Hunain. Firman Allah: ‘Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Kerana itu bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mu’min: “Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (Surah Al-Imran : 123-124 )
Sebagai umat Muhammad s.a.w. kita perlu mengingati dan mencintai Rasul kita s.a.w. dengan suatu penghayatan yang sebenarnya, atau dengan kata lain wajib dihayati oleh setiap orang yang beriman sepanjang masa, tidak hanya pada waktu-waktu tertentu atau musim-musim tertentu seperti mengingati Baginda s.a.w. hanya di bulan Rabiul Awal ini saja. Cuma yang lebihnya memperingati Baginda s.a.w. di bulan Maulid ini adalah lebih khusus kerana Baginda mengikut riwayat yang paling mashyur dilahirkan pada hari Isnin 12 Rabiul Awal tahun gajah. Rasulullah s.a.w. bersabda di dalam hadis yang diambil dari Qatadah yang bermaksud;”Bahasanya Rasulullah s.a.w., apabila ditanya mengenai puasa pada hari isnin, maka Baginda bersabda : itulah hari dimana aku dilahirkan dan hari mula turun wahyu kepada ku” H.R.Muslim
Di dalam keadaan dan suasana manusia yang sedang hanyut dan tenggelam di dalam arus jahiliyah, manusia yang sedang berada di julang api neraka, di saat manusia membunuh sesama sendiri, di kala manusia lupa Tuhan yang sebenarnya dengan menyembah berhala, tidak mengenali hakikat agama yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu dan menyeleweng daripada ajaran yang sebenarnya.
Di tengah-tengah keadaan inilah, maka lahirlah sinaran dan cahaya islam yang dibawa oleh seorang pesuruh Allah iaitu Nabi Muhammad s.a.w. Ajaran yang suci ini telah dibawa oleh seorang pesuruh Allah yang terpilih ini, semuanya bersumberkan kepada wahyunya daripada Allah s.w.t. yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dengan mengajak mereka beribadat kepada Allah semata-mata dan menjauhi diri dari ajaran yang salah dan sesat.
Jelas sekali, sumbangan Baginda dalam mengangkat dan meningkatkan peradaban manusia cukup besar dan bermakna. Oleh itu, kedatangan bulan ini perlu disambut setiap umat Islam dengan penuh kesyukuran kerana dalam bulan inilah lahir seorang pemimpin unggul, agung dan berwibawa yang mengubah suasana dan keadaan hidup manusia ke arah kehidupan lebih cemerlang, bahagia dan berjaya. Allah berfirman yang berbunyi:
Maksud: “Tidak Kami utuskan engkau (wahai Muhammad) melainkan untuk mendatangkan kerahmatan kepada seluruh alam.” (Surah al-Anbia, ayat 107).
Perjuangan Baginda s. a. w. dalam usaha menegakkan Islam di muka bumi ini, dipenuhi peristiwa pahit dan getir. Baginda terpaksa menempuh pelbagai ancaman dan halangan, menghadapi pelbagai kesengsaraan, penderitaan, penindasan dan sebagainya. Baginda diutus Allah menjadi Rasul ketika berumur 40 tahun. Pelantikan Baginda sebagai Rasul membolehkan Baginda menyebarkan dakwah dan mengajak umatnya ke jalan lurus. Kesungguhan Baginda akhirnya berjaya membawa masyarakat Arab ke jalan benar dan diridloi Allah.
Justru itu, pada hari ini, marilah kita umat Islam bergandeng bahu dan merapatkan jurang untuk sama-sama meningkatkan ketakwaan kepada Allah dengan menghayati ajaran dan sunah Rasulullah. Sesungguhnya, kedatangan Rabiulawal tahun ini, diharap dapat menyelesaikan kemelut yang menimpa umat Islam ketika ini, sekaligus membawa semangat baru kepada perjuangan menegakkan Islam.
— bersama Shanti Damayanti, Siti Khadijah,
Sejukan Jiwa Kita
SAHABAT
- 24 Jam (1 hari) Akhirat = 1000 Tahun
- 3 Jam Akhirat = 125 Tahun
- 1,5 Jam Akhirat = 62,5 Tahun
- Umur manusia rata-rata 60-70 tahun. Jadi hidup manusia di dunia ini jika dilihat dari langit hanyalah 1,5 jam saja. Pantaslah kita di ingatkan masalah waktu.
Cuma 1,5 jam saja menentukan kehidupan abadi kita kelak, maka bersabarlah.
Hanya 1,5 jam saja coba buat alloh senang dan hentikan buat syetan senang.
Hanya 1,5 jam saja menahan nafsu dan ganti syariat-Nya.
1,5 jam sebuah perjuangan teramat singkat dan alloh ganti dengan syurga abadi.
Yang membuat hidup ini terasa panjang adalah pengabdian kita kepada alloh dan bermanfaat untuk diri dan sesama.
Bersyukurlah:
• Ketika engkau tak memiliki semua yang kau inginkan . jika engkau memiliki semua apa yg hendak kau cari.
Bersyukurlah:
• Ketika engkau tak mengetahui sesuatu. Karena itu memberi kesempatan kepadamu untuk belajar.
Bersyukurlah:
• Atas masa-masa sulit yang engkau hadapi. Karena selama itu engkau tumbuh menjadi dewasa.
Bersyukurlah:
• Atas keterbatasan yang engkau miliki. Karena hal itu memberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Bersyukurlah:
• Bersyukurlah atas tantangan baru yang di hadapi. Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu.
Kehidupan yang bermakna adalah bagi mereka yang bersyukur atas kesulitan yang di hadapi.
۵ ﷲ ۵
Ibnu Abbas ra., Nabi Muhammad saww. bersabda : "Ahibbullaaha lamaa yaghduukum bihi min ni'amihi wa ahibbuunii lihubbillaahi wa ahibbuu ahla baitii lihubbii.
Artinya : Cintailah Allah kerena nikmat-nikmat yang di anugrahkan-Nya, cintailah aku karena kecintaan kepada Allah dan cintailah Ahlul Baitku (keluarga, keturunan) karena kecintaanmu kepadaku.". (HR. At-Tirmidzi, Ath-Thabrani dan Al-Hakim) I
اكرموا العلماء فانهم ورثة الانبياء ,فمن اكرمهم فقد اكرم الله ورسوله.
Nabi Muhammad saww. bersabda : "Akrimul-'ulamaa'a fainnahum warotsatul-anbiyaa'i, faman akromahum faqod akromallooha warosuulahu.
Artinya : Muliakanlah para (Ulama) orang Alim, karena mereka adalah para pewaris Nabi, maka barangsiapa memuliakan mereka maka sesunggungnya ia telah memuliakan Allah dan Rosulullah.". (HR. Ath-Thabarani) I
المرء مع من احب.
Nabi Muhammad saww. bersabda : "Al-mar'u ma'a man ahabba.
Artinya : Seseorang itu (dikumpulkan diakhirat nanti) bersama orang yang dicintainya.". (di dalam kitab At-Tuhfah Al-Mardhiyyah Fil-akhbaril-Qudsiyyah wal-Ahaditsin-Nabawiyyah => Asy-Syaikh Abdul Majid Al-Adawiy) I
Langganan:
Postingan (Atom)