Selasa, 27 Maret 2012

KISAH ANAK KECIL

Ada seorg laki2 masuk ke masjid diluar waktu sholat fardhu. Ia menemukan seorang anak kecil yg berumur 10 th. sdg melakukan shalat sunnah dgn khusu'. Kemudian Laki2 itu menunggu anak kecil menyelesaikan Shalatnya. Setelah itu ia mendatanginya dan mengucapkan salam,lalu bertanya :"Wahai anak, kamu putra s...iapa? " Anak itu hanya menundukkan kepalanya dan meneteskan air mata. lalu ia mengangkat kepalanya dan berkata : "Wahai Paman, sy anak yatim piatu,tdk berbapak dan beribu".
Laki2 itu tertegun dan muncul rasa kasihan, Ia berkata: "Apakah engkau mau ku angkat sebagai anak angkatku?", Anak kecil itu balik bertanya: "apakah jika saya lapar engkau akan memberi makan ? " Laki2 itu menjawab : "Iya". Si Anak bertanya lg :"apakah jika sy telanjang engkau akan memberi sy pakaian?" Laki2 itu menjawab: "Iya"
Si Anak bertanya lg:"Apakah jika saya sakit engkau akan menyembuhkan saya?" Laki2 itu menjawab: "itu tdk mungkin wahai anak." Si kecil bertanya lg: "apakah jika sy mati engkau akan menghidupkan saya?" laki2 itu menjawab : "itu juga tidak mungkin!" si kecil berkata : "Wahai Paman, kalau begitu, tinggalkanlah saya sendiri dengan Tuhan Yang Mencioptakan saya, Yang Memberi saya Petunjuk, yg memberi saya makan dan minum, Yang menyembuhkan jika saya sakit, Yang mengampuni segala dosa saya di hari akhir.".........
Laki laki itu hanya terdian membisu, kagum dgn jawaban anak kecil itu, lalu dia meninggalkannya dan berkata : "terima kasih anakku, saya percaya pada ALLAH, barangsiapa bertawakkal pada-NYA niscaya Dia akan mencukupinya."...........

ORANG YANG TIDAK DI KENAL DI PENDUDUK BUMI, TAPI DI KENAL DI PENDUDUK LANGIT ( UWAIS AL-QORNI )

 



            Beliau bernama Uwais ibn ‘Amir ibn Jaza ibn Malik ibn ‘Amr ibn Sa’ad ibn ‘Ashwan ibn Qoron ibn Rodman ibn Najiah ibn Murod. Nama asli Murad yang terakhir di sebut adalah Yuhabir ibn Malik ibn ‘Udad.
            Al-Jauhari dalam kitab Al-shihah mengatakan bahwa al-Qoroni adalah nisbat kepada suatu tempat bernama Qoron, yaitu miqot bagi penduduk Najd yang berada di daerah Tho’if. Sementara al-Fairuzabadi dalam al-Qomus al-Muhith mengatakan bahwa penisbatan Uwais al-Qoroni kepada nama daerah Qoron ini adalah pendapat salah, pendapat yang benar ~menurutnya~ al-Qoroni adalah nisbat kepada salah seorang nama kakeknya, ialah Qoron ibn Rodman ibn Murod.
            Sejarah tidak mencatatkan tahun kelahiran Uwais, namun pendapat kuat menyatakan bahwa beliau hidup semasa dengan Rosululloh, hanya saja tidak pernah bertemu dengannya. Karena itulah maka Uwais al-Qoroni tidak tergolong sahabat Nabi, sebab definisi sahabat adalah orang yang hidup di masa Rosululloh, beriman kepadanya, pernah bertemu dengannya walaupun sesaat dan meninggal dalam keadaan beriman. Dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala, adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Uwais tidak sempat bertemu dengan Rosululloh karena di sibukkan dengan berbakti kepada ibunya.
            Masih menurut adz-Dzahabi, Uwais tidak banyak meriwayatkan hadist, kecuali beberapa saja yang ia ambil dari sahabat ‘Umar ibn al-Khoththob dan sahabat ‘Ali ibn Tholib, karenanya beliau bukan termasuk Rijal al-Hadist. Lalu yang mengambil riwayat hadist dari Uwais yang sedikit tersebut adalah Yusair ibn ‘Amr, ‘Abd ar-Rohman ibn Abi Laila, Abu ‘Abd Robb al-Damasyqi, dan lainnya.
            Terdapat beberapa hadist shoheh yang menunjukan keutamaan Uwais al-Qoroni, di antaranya hadist riwayat imam muslim dalam kitab Shohihnya bahwa Rosululloh bersabda :

“ Akan dating kepada kalian Uwais al-Qoroni dengan rombongan berasal dari Yaman. Ia pernah memiliki penyakit kulit belang (al-Barosh), kemudian ia sembuh darinya kecuali hanya tersisa seukuran keeping dirham. Ia memiliki seorang ibu dan ia sangat berbakti kepadanya. Jika ia bersumpah meminta kepada Alloh maka Alloh akan mengabulkannya. Jika engkau bisa bertemu dengannya dan ia memintakan ampun kepada Alloh bagi dirimu maka lakukanlah hal itu “. ( HR. Muslim ).
            Riwayat yang sama juga di sebutkan oleh imam Ibn Hajar al-‘Asqolani dalam kitab Lisan al-Mizan, Ibn Sa’ad dalam ath-Thobaqoth, adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala, dan lainnya. Dalam riwayat-riwayat tersebut di sebutkan bahwa apabila dating suatu rombongan dari Yaman kepada ‘Umar ibn al-Khoththob maka beliau selalu bertanya kepada mereka : “adakah di antara kalian Uwais al-Qoroni?”. Hingga suatu saat ‘Umar dapat bertemu dengannya, ‘Umar berkata : “ benarkah engkau bernama Uwais al-Qoroni ibn ‘Amir ?”. Uwais menjawab : “benar”. ‘Umar berkata : “ benarkah engkau berasal dari Murod dan dari Qoron?”. Uwais menjawab : “benar“. ‘Umar berkata : “ adakah engkau pernah memiliki penyakit belang dan sembuh darinya kecuali tersisa seukuran keeping dirham?”. Uwais menjawab : “benar”. ‘Umar berkata : “ adakah engkau memiliki seorang ibu ?”. Uwais menjawab : “benar”. Kemudian ‘Umar membacakan sebuah hadist yang pernah di dengarnya dari Rosu;lulloh, ~ seperti tersebut di atas ~. Setelah itu ‘Umar meminta kepada Uwais untuk memintakan ampunan kepada Alloh bagi dirinya. Lalu Uwais mengerjakan permintaan ‘Umar tersebut. Kemudian ‘Umar bertanya kepadanya : “ ke manakah engkau hendak pergi?”. Uwais menjawab : “ke Kuffah”. ‘Umar berkata : “maukah engkau jika saya menulis surat kepada gubernur Kuffah supaya dia memuliakanmu?”. Uwais menjawab : “Tidak, Aku lebih senang berada dalam kumpulan orang-orang”.
            Al-Hafidz Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Auliya’meriwayatkan bahwa Rosululloh dalam hadistnya telah menyebutkan sifat-sifat Uwais al-Qoroni, di antaranya bahwa beliau adalah seorang yang berperawakan tegap, dada bidang, warna sangat kecoklatan, dagu selalu tertunduk menempel ke dadanya, pandangan selalu tertuju ke tempat sujud, tangan kanannya selalu di letakkan di atas tangan kirinya, selalu dalam keadaan membaca Al-qur;an, menangisi diri sendiri, memakai kain sarung yang berasal dari wol kasar, tidak di kenal di penduduk bumi namun sangat di kenal di penduduk langit ( para Malaikat ), jika ia bersumpah atas nama Alloh maka pasti akan terkabulkan, di bawah bahu sebelah kanannya terdapat kulit putih seukuran kepingan dirham, kelak di hari qiyamat para ahli ibadah akan di perintah untuk segera masuk ke surga, kecuali Uwais, kepadanya akan di katakana : “ Berhenti engkau, berikan Syafa’atmu ( pertolongan ) terlebih dahulu kepada orang lain”. Uwais kemudian memberikan syafa’at kepada banyak orang sejumlah orang-orang kabilah Robi’ah dan kabilah Mudlor. Rosululloh berkata kepada ‘Umar ibn al-Khoththob dan sahabat ‘Ali ibn Tholib : “ jika kalian bertemu dengannya maka mintalah kepadanya untuk beristighfar kepada Alloh bagi kalian”. Sekitar sepuluh tahun ‘Umar dan ‘Ali tidak pernah bertemu dengan Uwais, kemudian setelah itu baru dapat bertemu dengannya.
            Al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Atsqolani dalam lisan al-Mizan meriwayatkan dari Hammad ibn salamah dari al-Jaziri dari Abi Nadlroh dari Usair ibn Jarir dari ‘Umar ibn al-Khoththob bahwa Rosululloh bersabda :
“ Sesungguhnya sebaik-baiknya orang di kalangan tabi’in adalah seorang yang bernama Uwais ibn ‘Amir. Ia pernah memiliki penyakit kulit putih ( Barosh ), kemudian ia berdo’a kepada Alloh untuk kesembuhan penyakit tersebut hingga penyakit itu hilang, kecuali seukuran keeping dirham yang terletak di daerah pusarnya”.
            Di riwayatkan bahwa apabila dating sore hari, Uwais berkata dalam do,anya :” Ya Alloh ampunilah hamba-Mu ini jika hari ini di antara hamba-hamba-Mu ada yang kelaparan karena di rumahku sudah tidak terdapat lagi makanan kecuali yang ada di dalam perutku ini”.  
            Di riwayatkan pula bahwa beliau berkata : “ sesungguhnya pekerjaan memerintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran menjadikanku tidak memiliki teman seorang mukmin. Setiap kali kami memerintah mereka kepada kebaikan maka mereka mencaci maki kehormatan kami, sebaliknya mereka mendapatkan teman dalam kefasikan mereka sendiri, bahkan demi Alloh mereka telah melempariku dengan tulang belulang”.
            Di riwayatkan pula bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya : “ Berilah wasiat bagi diriku…… !”, Uwais menjawab : “ Kembalilah kepada Tuhanmu”. Orang tersebut berkata : “ bagaimana dengan bekal hidupku?”. Uwais menjawab : “ Sesungguhnya hati itu selalu di hantui rasa was-was, ketahuilah jika engkau benar kembali kepada Tuhanmu apakah DIA akan menyia-nyiakanmu tanpa rizqi bagimu ?!”
            Di antara sikap zuhud beliau di riwayatkan bahwa beliau pernah hingga tidak memiliki selembar pakaianpun, tidak sedikit orang yang mencacinya, bahkan ada yang menganggapnya sebagai orang yang tidak waras. Karena tidak memiliki pakaian, beliau tidak dapat dating ke masjid atau mushalla. Dalam hadist riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ di sebutkan bahwa Rosululloh bersabda : “ Sesungguhnya dari umatku ada yang tidak bisa mendatangi masjid atau mushallanya karena tidak memiliki pakaian. Keimanannya menghalangi dia untuk meminta-minta kepada manusia. Di antara mereka adalah Uwais al-Qoroni”. ( HR. Abu Nu’aim ).
Semoga kisah d atas memberikan sebuah bekas yang tertanam terpendam dalam benak serta menjadi penggugah kesemangatan dalam meniti jalan untuk dekat kepada-NYA. aamiin



SALAH KAPRAH TEKNIS PELAKSANAAN SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT SATU SALAM

Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad al-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu. Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung redaksi Imam Muhammad al-Shan’âniy, sebagai berikut:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ فَصَّلَتْهَا بِقَوْلِهَا ( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى .
Artinya; Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti A’isyah merincikan  shalat Rasulullah dengan perkataannya:”Beliau shalat 4 rakaat”. Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam, ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara terpisah (2 rakaat- 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai dengan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat.[1]
Maksud perkataan Imam Muhammad al-Shan’âniy:” 4 rakaat dilakukan dengan sekali salam, dipahami menurut zhahir/tekstual hadis. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadis lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat.
Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut:
فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ عَلَى ظُهُوْرِهِ وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ . 
Artinya: “Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat umum/zhahir diberlakukan kepada arti zhahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadis lain yang tetap dari Rasulullah”.[2] 
Maksud dari  perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih bersifat umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadis Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum satu hadis, maka hadis tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir dan umum.
Jika hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadis Qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadis Siti Aisyah 4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi). Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi umatnya. Contohnya adalah tentang kandungan surat annisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi. Dengan kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.
Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah  yang dimaksud Siti Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam??? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadis lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2. Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ.
Artinya: Dari Aisyah berkata: ”Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang Muadzzin selesai dari azan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) atas lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi beliau untuk Iqamah.”[3]
Menurut ketentuan, jika seseorang telah menjelaskan maksud dari ucapannya sendiri, maka tidak ada seorang pun berhak memberikan penafsiran atau pemahaman yang menyalahinya. Nampak jelas, shalat dengan 2-2 rakaat lebih kuat ketimbang 4 rakaat sekali salam. Dengan kata lain shalat 2-2 rakaat terjamin kebenaran dan keabsahannya. Dari sini dapat dipahami jika ada ulama yang mengatakan shalat Tarawih dengan 4-4 sekali salam adalah tidak sah.


[1] Muhammad Ibn Ismâîl al-Shan’âniy, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, vol. 2 h. 27.

[2] Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfiiy, al-Risâlah, (Jakarta: Dinamika Jakarta t.t) h. 148.

[3] Hadis tersebut disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hadis no: 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis no: 1671, Imam al-Darimiy dalam sunannya hadis no: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam al-Sunan al-Shughra hadis no: 600, al-sunan al-Kubra hadis no: 4865 dan Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis no: 1435.


Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang yang tidak menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu hadis Siti Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah menjadi dua dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk shalat Witir. Bagi mereka yang mengatakan hadis Siti Aisyah (4,4,3) sebagai dalil shalat Tarawih adalah pendapat orang yang ilmunya masih cetek. Laksana buah masih pentil belum mateng, jadi masih sepet dan rada-rada getir.
Mereka hanya melihat zhahir satu hadis saja, tanpa mempertimbangkan hadis-hadis lain untuk dikompromikan dan direkonsiliasikan yang dalam istilah para pakar ulama hadis disebut(اَلْجَمْعُ وَالتَّوْفِيْقُ) . Mereka juga mengabaikan penjelasan para ulama. Sebuah kesalahan fatal, apabila mencoba memahami al-Qur’an dan hadis secara langsung tanpa mengerti pandangan dari para ulama terlebih dahulu.
Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman al-Sa’adiy, Syaikh Abdul Azîz Ibn Abdullah Ibn Bâz, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Utsaymin, Syaikh Nur Ali al-Darab, Syaikh Abdullah Ibn Qaud, Syaikh Abdullah Bassam, Syaikh Saîd Ibn Ali al-Qahtâniy. Mereka adalah para pentolan ulama Wahhabi, mereka sepakat mengatakan bahwa: shalat Tarawih itu dilaksanakan dengan cara 2 rakaat – 2 rakaat. Lihat: Kitab Muallafat Syaikh Ibn Abdil Wahhab, juz 2 hal: 19; Fatawa Syaikh Abdurrahman al-Saadiy, hal: 175; Kitab Syaikh Muhammad Utsaymin: Syarh Shahih al-Bukhariy juz 4 hal: 238, dan Syarh Riyadhus Shalihin juz 3 hal: 265; Kitab Shalatul Mu’min juz 1 hal: 347, karya Syaikh Saîd Ibn Ali al-Qahtâniy. Begitu juga pendapat Syaikh Abdul Hamid Kisyik, Syaikh Muhammad Syaltut, Sayyid Ali Fikri, Sayyid Sabiq dan ulama lainnya mereka sepakat bahwa shalat Tarawih itu dilakukan dengan salam pada setiap 2 rakaat.
Menurut para ulama, shalat Tarawih dengan formasi 4 rakaat sekali salam itu menyalahi prosedur perkataan dan perbuatan Nabi sebagaimana riwayat hadis Imam al-Bukhariy dari sahabat Nabi, Abdullah Ibn Umar:
إِنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ . (صحيح البخاري رقم 1069) 
Artinya:”Sesungguhnya Seorang lelaki bertanya; Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam? Rasulullah menjawab; Shalat malam itu 2 rakaat-2 rakaat. Maka apabila engkau khawatir subuh maka shalat witirlah engkau dengan satu rakaat.
Lantas, ”Kenapa muncul pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih cara shalatnya 4 rakaat-4 rakaat.”???? Wahhabi jilid berapa mereka.”???? 
Mungkin pendapat seperti itu berpangkal pada khayalan mereka saja. Padahal tidak ada satu pendapat ulamapun dalam kitab-kitab Mu’tabarah yang mengatakan Shalat Tarawih dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam. Mereka telah menetapkan sesuatu tanpa ada dalil. Maka yang memfatwakan atau mengajarkan shalat Tarawih dilaksanakan dengan cara 4 rakaat sekali salam, merekalah yang bertanggung- jawab atas hal ini.


DAKWAH LEWAT MUSIK

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Musik memang bahasa universal. Dia bisa digunakan untuk menyampaikan beragam pesan, mulai cinta, persahabatan, hingga dakwah. Kelenturan itulah yang dicoba beberapa pegiat dakwah ditangkap dan diaktualisasikan. Tercatat beberapa penyanyi dan group musik dakwah bermunculan, terutama dibulan suci Ramadan.

Fenomena ini memang memunculkan pertentangan antara tuntutan dakwah dan teks-teks agama yang melarang kegiatan memainkan alat-alat musik tertentu. Beberapa kalangan ada yang menjadikan kegiatan dakwah sunan kalijogo dan sunan drajat sebagai justifikasi atas keabsahan metode dakwah ini.

berikut mengurai aspek hukum nyanyian/syair dalam prespektif fiqh.

Sya’ir Islami/Nasyid

Disebut sya’ir/nasyid Islami karena didalamnya tidak sedikitpun mengandung unsur-unsur kemungkaran atau sekedar bersenang-senang melupakan Allah SWT.

Ada beberapa model sya’ir Islami:

1. An-Nsyid Ad-Dini; sya’ir islami yang berisikan dzikir, menyintai Allah dan RasulNya, dan unggkapan akan sifat-sifat sorga dan neraka.

2. Nasyidul Hub wal Munajat; syair berisikan ungkapan cinta kepada Allah dan RasulNya dengan cinta yang sangat mendalam melebihi apapun. Biasanya sya’ir ini menggunakan bahasa sastra yang tinggi, bahkan terkadang menggunakan tamsil-tamsil yang sulit dipahami oleh orang awam. Sya’ir model ini biasanya dilantunkan atau ditulis oleh para awliya’. Terutama ketika kejiwannya sedang melayang dan dikuasai oleh perasaan khawf/takut, roja’/lapang dada mengharap rahmat Allah dan dikuasai oleh perasaan cinta kepada Allah atau RasulNya.

3. Nasyid Nabawy; sya’ir berisikan sejarah Rasulullah SAW, perjalanan hidupnya, mu’jizatnya, pujian-pujian kepadanya serta kepada para sahabatnya.

4. Nasyidul Hikmah wal Maw’idhoh; sya’ir yang berisikan petuah-petuah Islam serta hikmah-hikmah.


Sya’ir/nasyid model-model inilah yang berkembang dikalangan para ulama’ atau para sufi. Bahkan sejak masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Para ulama’ hampir bersepakat atas kebolehan model-model sya’ir diatas.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, berkata: Para sahabat Rasulullah SAW pernah melantunkan nasyid di samping Rasulullah SAW sedangkan beliau tersenyum.HR.Turmudzi.

Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, berkata: Sekelompok orang mendatangi sahabat ‘Umar bin Khotthob ra, lalu berkata: Hai ‘Umar Amirul Mukminin, sesungguhnya kami mempunyai imam shalat. Apabila imam telah selesai shalat ia melantunkan sya’ir/nyanyian. Umar berkata: Siapa itu?. Lalu disebutkan nama imam tersebut. Umar berkata: Ayo berangkat kesana bersamaku, karena kalau aku sendirian kesana ia akan mencuriga aku mengawasinya. Kemudian ‘Umar ra berangkat bersama-sama dan menjumpai lelaki itu didalam masjid. Ketika orang itu melihat ada Umar ra, maka berdiri menyambutnya dan berkata: Wahai Amirul mukminin, apa keperluan anda datang kemari, jika anda mempunyai hajat kepada kami, maka kami yang seharusnya datang menghadap anda. Umar menjawab: Celaka kamu…telah sampai kepadaku berita bahwa engkau telah melakukan perbuatan yang mencoreng aku. Lelaki itu berkata: Apa gerangan wahai Amirul Mukmini. ‘Umar ra menjwab: Apakah kamu bersenandung dalam ibadah kamu. Orang itu menjawab: Tidak wahai Amirul Mukminin, akan tetapi aku memberi petuah kepada diriku sendiri. Umar berkata: Coba ucapkan, jika isinya kalimat yang bagus aku mengikuti kamu dan jika jelek aku akan melarang kamu. Lalu orang itu melantunkan sya’ir:

Lalu ‘Umar ra menirukannya melantunkan sya’ir:

Kemudian ‘Umar ra berkata: Seperti ini seharusnya para pelantun melantunkan sya’irnya.

Imam syaf’i berkata: Say’ir adalah untaian kalimat, jika baik maka tentu baik pula dan jika jelek maka tentu jelek”.

Imam Nawawi berkata: “Tidak apa-apa melantunkan sya’ir di masjid apabila berisikan pujian-pujian kepada Nabi atau Islam, atau berisikan kalam-kalam hikmah, akhlaq-akhlaq mulia, zuhud dan lain-lain dari segala macam kebaikan”.

Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata: Sesungguhnya semua sya’ir yang berisikan perintah untuk berbuat ta’at, hikmah, akhlaq mulia, zuhud dan lainnya dari segala perbuatan yang baik sebagaimana ajakan untuk ta’at, mengerjakan sunnah dan menjauhi ma’siat, maka hukum sya’ir dan mendengarnya adalah bagian dari kesunnahan sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’.


Imam Al-Ghozali menulis bab tersendiri dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin tentang hukum melantunkan sya’ir, mendengar, tata cara dan pengaruhnya pada kejiwaan. Uraian Imam Al-Ghozali ini oleh sebagian ulama’ dinilai yang paling lengkap dan luas. Sebab beliau tidak hanya menggunakan pendekat dalil naqli dari al-Qur’an, hadits Rasulullah SAW, atsar para sahabat serta pendapat para ahli fiqh dan sufi, bahkan secara gamblang beliau menjelaskan pula analog-analog logis yang mengesankan serta seberapa jauh pengaruh alunan sya’ir terhadap kejiwaan pelantun dan pendengarnya.

Pada akhirnya beliau berkesimpulan bahwa lantunan sya’ir dan hukum mendengarkannya adalah sunnat jika dapat mendorong perbuatan yang sunnah dan mengingatkan akherat. Sebab wasilah menuju kebaikan adalah bagian dari kebaikan itu juga.

Anasyid Bid’ah

Yang dimaksud dengan ansyid bid’ah adalah lantunan sya’ir-sya’ir yang berisikan model-model sya’ir diatas, akan tetapi terdapat kemungkaran-kemungkaran didalamnya, seperti diiringi dengan alat-alat musik yang diharamkan atau dilantunkan oleh perempuan dihadapan laki-laki yang bukan mahromnya dan sebaliknya.

Disebut bid’ah karena dibungkus dengan dakwah yang seolah-olah bagian dari ajaran agama, sehingga perbuatannya diyakini sebagai bentuk ibadah. Sementara yang disebut bid’ah dalam istilah fiqh adalah; segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam. Alasan dakwah tidak dapat menjadi pembenar mengabaikan kemungkaran didalamnya. Dakwah tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang justru merusak nilai dakwah itu sendiri. Tidak mungkin dakwah yang seharusnya mengajak kepada keta’atan beragama justru disampaikan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Model nasyid seperti ini yang populer saat sekarang. Banyak kita saksikan terutama pada bulan Ramadan, penyanyi-penyanyi perempuan menyanyikan lagu-lagu Islami, terkadang shalawat dengan membuka aurat dan berdandan dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Tidak ketinggalan pula beberapa alat musik mengiringinya.

Yang lebih memperihatinkan, terkadang beberapa ustadz atau kiyai turut serta menyaksikan atau bahkan sengaja mendatangkan untuk acara-acara keagamaan.

Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata: Telah lewat penjelasan mengenai hukum nyanyian/sya’ir yang tidak disertai kemungkaran sebagaimana diatas. Yang dimaksud disini – pembahasan menganai hukum nyanyian yang diserta tari-tarian atau alat-alat musik – sesungguhnya apabila nyanyian itu diperbolehkan atau dimakruhkan, jika dibarengi dengan yang diharamkan, maka dengannya menjadi haram hukumnya. Dan apabila haram hukumnya, maka keharaman itu akan semakin berat dosanya karena bercampurnya sesuatu yang diharamkan.

Selanjutnya beliau berkata: Berkata sebagian ulama’ Yaman: Adapun hukum mendengar nyanyian pada waktu sekarang ini adalah diharamkan, karena didalamnya terdapat kemungkaran-kemungkaran, bercampurnya laki-laki dan perempuan.



AL-KISAH (PASTI AKAN ADA PERUBAHAN)

Seorang kakek tua yang hidup dengan cucunya di perkebunan kecil yang indah, memiliki kebiasaan bangun setiap pagi, lalu duduk di kursi yang ada didapur kemudian membaca al-Qur’an. Cucunya yang masih kecil, bercita-cita ingin menjadi seperti kakeknya. Oleh karena itu sang cucu selalu mencoba untuk menirukan apa yang dilakukan oleh sang kakek selagi bisa.
Suatu hari sang cucu bertanya kepada kakeknya;

“Aku selalu mencoba menirukan kakek untuk membaca al-Qur’an, tetapi banyak kata-kata dalam al-Qur’an yang tidak aku mengerti, kalaupun aku mengerti maka cepat sekali aku lupa, kalau begini terus…apa dong kek gunanya aku membaca al-Qur’an jika aku tak faham isinya”….(kata sang cucu sambil cemberut).

Sang kakek tersenyum lembut, kemudian tanpa berbicara sepatah kata pun sang kakek mengambil keranjang arang yang berada disampingnya dan memasukkan arang yang ada dalam keranjang tersebut seluruhnya kedalam tungku pemanas dan berkata;

“Bawa keranjang arang yang sudah kosong ini kesungai lalu isilah dengan air kemudian bawa kembali kesini”.

Sang cucu kemudian melaksanakan perintah sang kakek, tetapi semua air yang dibawanya dengan keranjang bocor semua sebelum sampai kerumah, sesampai dirumah sang kakek melihat cucunya sambil tertawa dan berkata;

“Kamu harus berjalan lebih cepat”.

Kemudian sang kakek menyuruh kembali cucunya kesungai dengan keranjang tersebut untuk mencoba lagi.

Kali ini sang cucu berlari lebih cepat, tapi sekali lagi keranjang yang diisinya dengan air kosong sebelum sampai ke tempat kakeknya.
Dengan nafas terengah-engah, nampak kebingunan diwajahnya, kemudian sang cucu berkata pada sang kakek;

“Tidak mungkin aku bisa mengambil air dengan keranjang ini…..aku akan mengambil ember sebagai ganti keranjang”.

Namun sang kakek menjawab dengan tegas;

“Yang aku inginkan bukan Seember air, tetapi sekeranjang air….kamu hanya kurang keras dalam berusaha”.

Kemudian sang kakek keluar guna menyaksikan cucunya yang mencoba lagi mengambil air dengan keranjang.

Sementara itu, sang cucu sangat yakin bahwa tidak mungkin bisa mengambil air dengan keranjang meskipun dia belari secepat apapun, air tetap akan bocor sebelum sampai kerumah. Tetapi karena ingin menunjukkan kesungguhannya, sang cucu tetap melaksanakan perintah sang kakek.

Sesampainya disungai sang cucu kemudian melemparkan keranjang yang dibawanya ke sungai kemudian menariknya dan berlari secepat mungkin menuju rumah, tetapi setelah sampai dirumah dan melihat keranjang yang diisinya dengan air telah kosong untuk kali ketiga, sambil terngah-engah dia berkata pada kakeknya;

“Lihat Kek…tidak ada gunanya kan??”

Kemudian sang kakek berkata dengan serius;

“Jadi kamu pikir semua ini tak ada gunanya??!.....Lihatlah sekarang keranjang yang kamu bawa!!”.

Kemudian sang cucu melihat kedalam keranjang yang dibawanya, dan untuk pertama kalinya dia menyadari bahwa keranjang tersebut sekarang berbeda, berubah….yang sebelumnya keranjang tersebut kelihatan tua, kotor dan hitam karena arang….kini telah bersih luar dalam dan tampak baru.

Kemudian sang kakek berkata setelah memberikan kesempatan sebentar kepada sang cucu untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah;

“Inilah yang akan terjadi jika kamu membaca al-Qur’an…mungkin saat ini kamu belum faham dengan apa yang kamu baca, atau kamu faham tetapi sebentar kemudian setelah kamu menutup al-Qur’an, kamu tidak bisa mengingat apapun tentang apa yang telah kamu baca”.

Sang kakek melanjutkan;

“Tetapi ketika kamu membaca lagi dan lagi, akan tampak perubahan pada dirimu, baik yang tampak oleh mata ataupun tidak, tanpa kamu sadari…oleh karena itu wahai cucuku, tetaplah kamu membaca al-Qur’an dan jangan pernah kamu tinggalkan Kalamulloh selamanya".

MACAM-MACAM DOSA

Macam-Macam Dosa Dan Cara MENTAUBATINYA

1. Dosa Besar
Ialah dosa yang disertai ancaman hukuman di dunia, atau ancaman hukuman di akhirat.
Dosa besar terdiri dari 17 macam, yaitu :
Dihati :
1. Syirik
2. Terus menerus berbuat maksiat
3. Putus asa
4. Merasa aman dari siksa Allah
Dilisan :
1. Kesaksian palsu
2. Menuduh berbuat zina pada wanita baik-baik
3. Sumpah palsu
4. Mengamalkan sihir
Diperut :
1. Minum Khamer.
2. Memakan harta anak yatim
3. Memakan riba
Dikemaluan :
1. Zina
2. Homo seksual


Ditangan
1. Membunuh
2. Mencuri
Dikaki : Lari dalam peperangan
Diseluruh badan : Durhaka terhadap orang tua

2. Dosa kecil
Ialah dosa-dosa yang tidak tersebut diatas

3. Dosa kecil yang menjadi besar
• Dosa kecil yang dilakukan terus menerus
Rasulullah bersabda: tidak ada dosa kecil apabila dilakukan dengan terus menerus dan tidak ada dosa besar apabila disertai dengan istighfar.
Allah juga berfirman: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran [3]: 135)
• Menganggap remeh akan dosa
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang mu’min dalam melihat dosanya, bagaikan seorang yang berada di puncak gunung, yang selalu khawatir tergelincir jatuh. Adapun orang fasik dalam melihat dosanya, bagaikan seseorang yang dihinggapi lalat dihidungnya, maka dia usir begitu saja.” (HR. Bukhori Muslim)
• Bergembira dengan dosanya
Allah berfirman: “Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. Al Baqarah [2]: 206)
• Merasa aman dari makar Allah
Allah berfirman: “Apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al Mujadilah [58]: 7)
• Terang-terangan dalam berbuat maksiat
Rasulullah bersabda: “Semua ummatku akan diampunkan dosanya kecuali orang yang mujaharah (terang-terangan dalam berbuat dosa) dan yang termasuk mujaharah adalah: Seorang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, kemudian hingga pagi hari Allah telah menutupi dosa tersebut, kemudian dia berkata: wahai fulan semalam saya berbuat ini dan berbuat itu. Padahal Allah telah menutupi dosa tersebut semalaman, tapi di pagi hari dia buka tutup Allah tersebut.” (HR. Bukhori Muslim)
• Yang melakukan perbuatan dosa itu adalah seorang yang menjadi teladan
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memberi contoh di dalam Islam dengan contoh yang jelek, dia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya setelah dia tanpa dikurangi dosa tersebut sedikitpun.” (HR. Muslim)

Jalan Menuju Taubat :
1. Mengetahui hakikat taubat
Hakikat taubat adalah: Menyesal, meninggalkan kemaksiatan tersebut dan berazam untuk tidak mengulanginya lagi. Sahal bin Abdillah berkata: “Tanda-tanda orang yang bertaubat adalah: Dosanya telah menyibukkan dia dari makan dan minum-nya. Seperti kisah tiga sahabat yang tertinggal perang”.

2. Merasakan akibat dosa yang dilakukan
Ulama salaf berkata: “Sungguh ketika saya maksiat pada Allah, saya bisa melihat akibat dari maksiat saya itu pada kuda dan istri saya.”

3. Menghindar dari lingkungan yang jelek
Seperti dalam kisah seorang yang membunuh 100 orang. Gurunya berkata: “Pergilah ke negeri sana … sesungguhnya disana ada orang-orang yang menyembah Allah dengan baik, maka sembahlah Allah disana bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang jelek.”

4. Membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya
5. Berdo’a
Allah berfirman mengkisahkan Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Al Maraghi berkata: “Yang dimaksud ”terimalah taubat kami” adalah: Bantulah kami untuk bertaubat agar kami bisa bertaubat dan kembali kepada-Mu.”

6. Mengetahui keagungan Allah yang Maha Pencipta
Para ulama salaf berkata: “Janganlah engkau melihat akan kecilnya maksiat, tapi lihatlah keagungan yang engkau durhakai.”
7. Mengingat mati dan kejadiannya yang tiba-tiba
8. Mempelajari ayat-ayat dan hadis-hadis yang menakuti orang-orang yang berdosa
9. Membaca sejarah orang-orang yang bertaubat

KHILAFIYAH

Haruskah Umat Islam Berpecah Karena Perbedaan Pendapat?

"Sudahlah jangan saling menyalahkan, ini khan permasalahan khilafiyah. Biarlah dia lakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar“. Demi Allah, ketahuilah, perkataan yang sering kita dengar ini adalah perkataan yang kurang tepat.

Ketahuilah ikhwah fillah, bila kita melihat kemungkaran maka wajib bagi kita untuk mengubahnya dengan kemampuan yang kita miliki. Entah itu dengan kekuasaan, dengan lisan atau hanya sekedar mendoakan. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, bila tidak mampu, ubahlah dengan lisan, bila tidak mampu ubahlah dengan hati, namun yang demikian adalah selemah-lemahnya iman” (HR.Muslim)

Maka barangsiapa melihat kemungkaran wajib baginya memberikan nasehat pada yang berbuat kemungkaran. Lebih lagi jika orang tersebut adalah teman kita, saudara kita seiman, sesama muslim, maka lebih berhak dan lebih penting lagi untuk kita nasehati. Apakah kita berdiam diri bila saudara kita yang kita cintai terjerumus dalam kemungkaran? Maka perkataan “Sudahlah jangan mengurusi orang lain. Urus saja diri sendiri. Biar saja dia lakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar” adalah kurang tepat. Sikap cuek dan berdiam diri seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
Namun tentunya nasehat harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan hikmah, kasih sayang, dengan ilmu, dan cara yang baik dan efektif. Bukan mencela, menghujat atau menghinanya. Inilah yang sesuai sunnah. Karena tentunya dengan nasehat tadi kita berharap orang yang dinasehati kembali kepada kebaikan dan kebenaran. Bukan ingin membuatnya terpuruk dan terhina. Jika harus berdiskusi maka berdiskusilah dengan baik, dengan landasan dalil-dalil dan pemahaman yang benar, bukan berdasar atau rasa benci dan hawa nafsu belaka. “Serulah (manusia) ke jalan Robbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Kemudian tentang khilafiyah, banyak orang yang salah dalam menyikapinya. Banyak orang yang tatkala menghadapai khilafiyah, tidak mau mencari pendapat yang benar, tidak mau mempelajari, malah bersikap acuh dengan berkata “Sudahlah jangan diperdebatkan, ini khan permasalahan khilafiyah“. Seolah semuanya benar tidak ada yang salah, dan malah membenci orang yang mencari pendapat yang paling mendekati kebenaran. Ini adalah sebuah kekeliruan. Kenapa? Karena tidak semua khilafiyah itu bisa ditoleransi. Kita hanya wajib bertoleransi dan saling menghargai pada khilafiyah yang mu’tabar (yang dianggap). Bila pada semua khilafiyah kita bertoleransi maka sungguh kacau agama ini jadinya. Ketahuilah diantara ummat muslim ada yang menganggap shalat wajib 5 waktu itu tidak wajib. Itu pendapat mereka. Ada juga yang berpendapat memakai jilbab bagi wanita itu tidak wajib. Adanya pendapat seperti itu menjadikan hal ini khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat). Nah, apakah ini juga bertoleransi terhadap khilafiyah seperti ini? Apakah bila ada orang yang tidak sholat kemudian kita berkata “Sudahlah biar saja, itu khan pendapat dia“. Masya Allah. Padahal Rasulullah berkata bahwa shalat adalah batas antara iman dan kufur.

Kemudian sebagian orang salah dalam mengartikan permasalahan ushul (pokok) dan furu’(cabang). Ada yang berkata masalah aqidah adalah ushul, fiqih adalah furu. Jadi menurut mereka dalam masalah aqidah tidak boleh berbeda pendapat, dalam fiqih boleh berbeda pendapat dan harus ditoleransi bila ada yang berbeda. Ini sebuah kekeliruan. Misal, permasalahan tentang Allah bisa dilihat oleh hamba2-Nya nanti di akhirat adalah ushul, tidak boleh ada yang mengingkari dan semua ulama telah sepakat. Namun, tentang apakah Rasulullah melihat Allah saat Isra Mi’raj adalah furu’, para ulama berbeda pendapat, padahal masalah aqidah juga. Kemudian, masalah makmum shalat maghrib membaca Al-Fatihah atau tidak, ini furu’, para ulama berbeda pendapat. Namun masalah wajibnya shalat Maghrib, ini ushul, tidak boleh ada yang mengingkari, padahal sama-sama masalah fiqih. Maka sebenarnya tidak ada patokan yang jelas untuk membedakan mana ushul, mana furu’. Namun dari studi kasus di atas patokan yang bisa kita pegang adalah, bila sudah ada dalil yang jelas dan shahih dan disepakati para sahabat dan ulama terdahulu, maka ini ushul. Dan bila terdapat dalil, namun ada kecenderungan untuk dipahami berbeda oleh para ulama terdahulu dan para sahabat, maka ini furu’. Jadi, tidak semua khilafiyah itu mu’tabar (dianggap). Banyak khilafiyah yang tidak mu’tabar (dianggap) atau dengan kata lain di acuhkan oleh para ulama karena sudah jelas salahnya. Maka, dalam masalah ini khilafiyah dapat dibagi 3 macam:

1. Khilafiyah yang sudah jelas salahnya, karena menyelisihi Qur’an dan Sunnah Contohnya seperti khilafiyah tentang wajibnya shalat yang sudah disebutkan di atas. Maka khilafiyah yang sudah jelas terdapat dalil shahih dari Qur’an dan Sunnah yang maknanya tidak bisa dita’wil (diselewengkan) kesana-kemari, wajib untuk diingkari. Barangsiapa yang menyelisihi Qur’an dan Sunnah padahal maksudnya sudah jelas, maka sama saja ia meragukan kebenaran Qur’an dan Sunnah dan ini adalah sebuah kekufuran. Maka khilafiyah seperti ini wajib diingkari, tidak boleh ditoleransi sama sekali.

2. Khilafiyah yang tidak menyelisihi sunnah, namun bisa ditarjih. Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah, namun setelah diteliti oleh para ulama ternyata dalil yang dipakai ada yang kuat dan ada yang lemah. Maka dalam hal ini bisa dilakukan tarjih, yaitu memilah pendapat yang didasari pada dalil2 yang kuat (rajih) saja. Alhamdulillah, para ulama dari sejak dahulu hingga sekarang sangat pernhatian dan serius dalam meneliti riwayat dan derajat hadist serta berhati-hati dalam pengambilan dalil, dan mereka sudah menjelaskannya dalam berbagai kitab-kitabnya. Untuk mengetahui mana pendapat yang kuat dan mana yang lemah kita tinggal mempelajari kitab-kitab mereka -rahimahumullah. Maka dalam hal ini WAJIB mengingkari pendapat yang lemah dan mengambil pendapat yang lebih rajih (kuat). Bertoleransi kepada orang yang mengamalkan pendapat yang lemah tadi, padahal ia sudah tahu pendapat itu lemah, adalah tercela. Namun kita tetap tidak boleh mencela ulama yang memiliki pendapat lemah. Karena Rasulullah bersabda: “Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian berijtihad maka jika benar ia mendapat dua pahala. Namun jika salah, baginya satu pahala.” (HR. Al Bukhori). Namun pendapat lemah nya tetap kita tinggalkan.

3. Khilafiyah yang tidak menyelisihi Qur’an dan Sunnah, namun tidak bisa ditarjih Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah dan semuanya shahih dan kuat, sehingga sulit ditarjih. Maka di sinilah baru berlaku perkataan “Sudahlah jangan saling menyalahkan, ini khan permasalahan khilafiyah. Biarlah dia lakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar“. Karena dalam khilafiyah yang seperti ini HARAM mengingkari pendapat yang lain, artinya tidak boleh mencela pendapat yang lain, karena ia berdasarkan dalil yang shahih juga. Kemudian wajib menghargai pendapat yang berbeda, saling bertoleransi dan boleh mengambil salah satu pendapat yang lebih cenderung kepadanya atau boleh juga tidak mengambil sama sekali pendapat-pendapat tersebut. Ikhwah fillah, bila antum pernah mendengar hadist “Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat” maka ketahuilah bahwa ini adalah hadist palsu, baik sanad dan matan(isi)-nya. Dari segi sanad, Syaikh Al Albani rohimahulloh berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya (anonim).” (dalam kitab Silsilah Hadits-hadits Lemah dan Palsu). Dari segi isinya, ini sangat bertentangan dengan banyak dalil bahwa perbedaan dan perselisihan adalah keburukan, bukan rahmat. Ibnu Hazm berkata tentang hadist ini: “Ini merupakan perkataan yang paling rusak. Karena jika perbedaan adalah rahmat tentunya persatuan merupakan hal yang dibenci. Ini jelas bukan perkataan seorang muslim. Karena kemungkinan hanya dua, bersatu maka dirahmati Alloh atau berselisih sehingga Alloh murka.” (dalaml kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam). Juga Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perselisihan itu jelek.” (Shohih, riwayat Abu Dawud). Dan Allah juga berfirman:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imron: 105)

Perbedaan asalnya adalah tercela, maka janganlah kita membiarkannya dengan sikap cuek dan berkata “Sudahlah jangan berselisih“. Seharusnya yang kita lakukan adalah berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi perbedaan yang ada dengan menyatukannya di atas kebenaran, bukan persatuan yang sembarangan, yaitu dengan mengembalikannya kepada Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat dan ulama yang mutamakkin. Allah SWT berfirman:

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya).” (QS. An Nisa`: 59)

Maka bila ada beberapa pendapat tentang sesuatu, hendaknya teruslah mengkaji, mempelajari, mencari ilmu, berdiskusi, menjelaskan ilmu maka Insya Allah akan ditemui pendapat yang paling mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat itu. Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk. Wallohu A’lam bish-Showab, smg bermanfa’at

JENGGOT, CELANA CINGKRANG DAN CADAR DALAM PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM

Pada suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampakkanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud) Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, ”Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, ”Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim) Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang barakibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun. Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja. Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى (الأحزاب، 33) dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al-Ahzab, 33) 1. Memelihara Jenggot Nabi Muhammad SAW bersabda: عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري، 5442) Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442) Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas. Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551) Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah. Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162) Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit. Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376) 2. Memakai Celana Cingkrang Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda: Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392) Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya. Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, ”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz I hal 276) Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut. Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114) Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas. 3. Memakai Cadar Firman Allah SWT: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. Al-Nur, 31) Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangannya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan, Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan. Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158). Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki- tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut . Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252 ) Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193) Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewajibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menyebabkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar. Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami. Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya. Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian. Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang memusuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi. Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”.

15 PERKARA YANG MERUSAK AMAL

1.KUFUR 
Wahai orang Muslim, wahai hamba Allah! Ketahuilah, siapa yang mati dalam keadaan kafir maka segala amal yang baik tidak ada manfaatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti shadaqah, silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lainnya. Sebab di antara syarat taqarrub adalah mengetahui siapa yang didekati. Sementara itu orang kafir tidak begitu. Maka secara spontan amalnya menjadi rusak dan sia-sia. 
2. SYIRIK 
"Dan sesunggunya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’." [Az-Zumar: 65]. Allah juga berfirman, mengabarkan tentang keadaan semua rasul: "Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya leyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." [Al-An’am: 88]. Dan juga sabda Rasulullah saw: "Apabila orang-orang mengumpulan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian untuk satu hari dan tiada keraguan di dalamnya, maka ada penyeru yang berseru: ‘Barangsiapa telah menyekutukan seseorang dalam suatu amalan yang mestinya dikerjakan karena Allah, lalu dia minta pahala di sisi-Nya, maka sesungguhnya Allah adalah yang paling tidak membutuhkan untuk dipersekutukan’." [HR. At-Tirmidzi 3154, Ibnu Majah 4203, Ahmad 4/215, Ibnu Hibban 7301, hasan]. 
3. MURTAD 
Allah berfirman: "Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [Al-Baqarah: 217]. "Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia pada akhirat termasuk orang-orang yang merugi." [Al-Maidah: 5]. 

4. RIYA' 
Celaan terhadap riya’ telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah: Al-Baqarah: 264 Rasullullah saw bersabda: "Sesungguhnya yang aku paling takutkan atas kamu sekalian ialah syirik kecil, yaitu riya’. Allah berfirman pada hari kiamat, tatkala memberikan balasan terhadap amal-amal manusia, ‘Pergilah kepada orang-orang yang dulu kamu berbuat riya’ di dunia, lalu lihatlah apakah kamu mendapatkan balasan bagi mereka?" [HR. Ahmad 5/428, 429, shahih]. Maka dari itu jauhilah riya’, karena ia merupakan bencana amat jahat, yang bisa menggugurkan amal dan menjadikannya sia-sia. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang riya’ adalah pertama kali menjadi santapan neraka, karena mereka telah menikmati hasil perbuatannya di dunia, sehingga tidak ada yang menyisa di akhirat. Ya Allah, sucikanlah hati kami dari nifaq dan amal kami yang riya’ teguhkanlah kami pada jalan-Mu yang lurus, agar datang keyakinan kepada kami. 
5. MENYEBUT-NYEBUT SHODAQOH DAN MENYAKITI HATI ORANG YANG DIBERI 
Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman jangalah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)." [Al-Baqarah: 264]. Ketahuilah wahai hamba Allah! Jika engkau menshadaqahkan harta karena mengharap balasa dari orang yang engkau beri, maka engkau tidak adakn mendapatkan keridhaan Allah. Begitu pula jika engkau menshadaqahkannya karena terpaksa dan menyebut-nyebut pemberianmu kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir." [HR. Ibnu Abi Ashim 323, Ath-Thabrany 7547, hasan]. Abu Bakar Al-Warraq berkata, "Kebaikan yang paling baik, pada setiap waktu adalah perbuatan yang tidak dilanjuti dengan menyebut-nyebutnya." Allah berfirman: "Perkataan baik dan pemberian maaf lebih baik dari shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." [Al-Baqarah: 263].
 6. MENDUSTAKAN TAKDIR 
Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir." Dan sabda beliau yang lain: "Andaikata Allah mengadzab semua penghuni langit dan bumi-Nya, maka Dia tidak zhalim terhadap mereka. Dan, andaikata Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka dari amal-amal mereka. Andaikata engkau membelanjakan emas seperti gunung Uhud di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerima amalmu sehingga engkau beriman kepada TAKDIR, dan engkau tahu bahwa bencana yang menimpamu, dan apa yang membuatmu salah bukan untuk menimpakan bencana kepadamu. Andaikata engkau mati tidak seperti ini, maka engkau akan masuk neraka." [HR. Abu Daud 4699, Ibnu Majah 77, Ahmad 5/183, 185, 189, shahih]. 
7. BERSUMPAH BAHWA ALLAH TIDAK MENGAMPUNI SESEORANG 
Dari Jundab ra sesungguhnya Rasulullah saw mengisahkan tentang seorang laki-laki yang berkata, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni Fulan. Padahal Allah telah berfirman, ‘Siapa yang bersumpah kepada-Ku, bahwa aku tidak mengampuni Fulan, maka aku mengampuni Fulan itu dan menyia-nyiakan amalnya (orang yang bersumpah)." [HR. Muslim 16/174]. Ketahuilah, bahwa memutuskan manusia dari rahmat Allah merupakan sebab bertambahnya kedurhakaan orang yang durhaka. Karena dia merasa yakin, pintu rahmat Ilahi sudah ditutup di hadapannya, sehingga dia semakin menyimpang jauh dan durhaka, hanya karena dia hendak memuaskan nafsunya. Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang tidak diberikan kepada orang lain. Bukanlah sudah selayaknya jika Allahmenghapus pahala amal orang yang menutup pintu kebaikan dan membuka pintu keburukan, sebagai balasan yang setimpal baginya? 
8. MELANGGAR HAL YANG DIHARAMKAN ALLAH SECARA SEMBUNYI 
Dari Tsauban ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: "Benar-benar akan kuberitahukan tentang orang-orang dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa beberapa kebaikan seperti gunung Tihamah yang berwarna putih, lalu Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu sebagai debu yang berhamburan". Tsauban berkata, "Wahai Rasulullah, sebutkan sifat-sifat mereka kepada kami dan jelaskan kepada kami, agar kami tidak termasuk diantara mereka, sedang kami tidak mengetahuiny". Beliau bersabda: "Sesungguhnya mereka itu juga saudara dan dari jenismu. Mereka shalat malam seperti yang kamu kerjakan. Hanya saja mereka adalah orang-orang yang apabila berada sendirian dengan hal-hal yang diharamkan Allah maka, mereka melanggarnya." [HR. Ibnu Majah 4245, shahih]. 
9. MERASA GEMBIRA JIKA MELIHAT ORANG MUKMIN TERBUNUH 
Darah orang Muslim itu dilindungi. Maka seseorang tidak boleh menumpahkan darahnya menurut hak Islam. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa membunuh seorang Mukmin lalu ia merasa senag terhadap pembunuhannya itu, maka Allah tidak akan menerima ibadah yang wajib dan yang sunat darinya." [HR. Abu Daud 4270, shahih]. 
10. MENDATANGI DUKUN DAN PERAMAL 
Beliau saw mengancam orang-orang yang mendatangi dukun dan sejenisnya, lalu meminta sesuatu kepadanya, bahwa shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari. Beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya tentang sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari." [HR. Muslim 14/227]. Ancaman ini diperuntukkan bagi orang yang mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu kepadanya. Sedangkan orang yang membenarkannya, maka dia dianggap sebagai orang yang mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad saw." [HR. Muslim 135, Abu Daud 3904, Ahmad 2/408-476]. 
11. DURHAKA KEPADA ORANG TUA 
Allah telah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu bapak dan berbakti kepada keduanya. Dia memperingatkan, mendurhakai keduanya dan mengingkari kelebihan keduanya dalam pendidikan merupakan dosa besar dan melenyapkan pahala amal. Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir." 
12. MEMINUM KHAMR 
Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa meminum khamr, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Dan, jika mengulanginya keempat kalinya, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat maka Allah tidak mengampuninya dan Dia mengguyurnya dengan air sungai al-khabal." Ada yang bertanya, "Wahai Abu Abdurrahman (Nabi), apakah sungai al-khabal itu?" Beliau menjawab, "Air sungai dari nanah para penghuni neraka." [HR. At-Tirmidzi 1862, shahih]. 13.BERKATA DUSTA ATAU PALSU 
Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pelaksaannya, maka Allah tidak mempunyai kebutuhan untuk meninggalkan makanan dan minumannya." [HR. Al-Bukhari 4/16, 10/473]. Di dalam hadits ini terkandung dalil perkataan palsu dan pengamalannya dapat meleyapkan pahala puasa. 
14. WANITA NUSYUZ 
Hingga Kembali Menaati Suaminya. Rasulullah saw bersabda: "Dua orang yang shalatnya tidak melebihi kepalanya, yaitu hamba sahaya yang lari dari tuannya hingga kembali lagi kepadanya dan wanita yang mendurhakai suaminya hingga kembali lagi." 
15. MENJAUHI SAUDARANYA SESAMA MUSLIM TANPA ALASAN YANG DIBENARKAN SYARIAT Dari Abu Hurairah ra, seungguhnya Rasulullah saw bersabda: "Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, lalu setiap hamba yang tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah akan diampuni, kecuali seseorang yang antara dirinya dan saudaranya terdapat permusuhan. Lalu dikatakan: ‘Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai." [HR. Muslim 16/122, 123].