Istilah manhaj salaf atau mazhab salaf tidak pernah disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat
Istilah manhaj salaf atau mazhab salaf dipergunakan oleh ulama-ulama yang tidak pernah bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh agar orang banyak"terhipnotis" mengikuti pemahaman / pendapat / perkataan mereka dan "meninggalkan" pemahaman / pendapat / perkataan Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Para Imam Mazhab yang empat mengetahui dan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui lisannya Salafush Sholeh. Mereka melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh.
Segelintir muslim tidak menyadarinya, contohnya mereka mendapatkan sifat sholat Nabi dari ulama yang memahaminya dari lafaz/tulisan atau melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah). Mereka meninggalkan sifat sholat Nabi yang disampaikan Imam Mazhab yang empat yang melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh. Imam Mazhab yang empat menuliskan apa yang mereka lihat kedalam kitab fiqih agar umat Islam kemudian yang tidak dapat melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh dapat mengikuti dengan "melihat" kitab fiqih mereka
Ibarat belajar berenang mana yang lebih baik belajar dari memahami lafaz/tulisan cara berenang atau langsung melihat contoh nyata ?
Contoh permasalahan menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahud, berikut kami kutipkan dari “Argumentasi ulama Syafi’iyah” oleh Ustadz H.Mujiburrahman dan buku-buku lainnya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.; “Jika Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya I/408).
Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits itu ialah menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari di julurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.
Dalam satu riwayat seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408 dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling (selesai sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa yang dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika Rasulallah saw. duduk dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang dekat ibu jarinya ke kiblat. Beliau juga meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”Al-Isyarah (mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan, bahkan meniadakannya untuk tahrik.
Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat ; “Aku melihat Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan mem- bengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471 ; Abu Dawud I:260 ; Nasa’i III:39 ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:354 dan penshohihannya itu ditetapkan oleh Ibn Hajar dalam Al-Ishabah no.8807 ; Ibn Hibban dalam As-Shohih V:273 ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa “Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih).
Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut.
Seseorang yang mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam) atas yang menafikan/meniadakannya, maka orang tersebut tidak memahami ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak sesuai untuk dipakai dalam masalah itu.
Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya.
Dari hadits Ibnu Zubair tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa:
a). Sunnah mengangkat telunjuk diketika tasyahhud.
b) Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada telunjuknya yang sedang berisyarat itu.
Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya:
Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia menggerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf [perbeda- an) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.
Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.
Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberadaannya didalam sholat”.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.
Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.
Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulu- kan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.
Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i)
Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).
Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35).
Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’ ”.
Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.
Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya.
Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi:
“Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.
Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam).
Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”.
Padahal Syeikh ini sendiri di kitab yang lain, Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!
Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil.
Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.
Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun.
Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya.
Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.
Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.
Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”.
Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimna pendapat sebagian orang. Wallahu a’lam
Wassalam
Rabu, 21 Maret 2012
KB DALAM SYARIAT ISLAM
Fenomena Keluarga Berencana (KB) dalam Islam
Di antara maksud dan tujuan agama Islam (maqasidh Assyari’ah) dari adanya pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (littanaasul) dan menghindari suami atau isteri jatuh kepada perbuatan zina. Oleh karena itu, dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan ummatnya untuk menikahi wanita yang penyayang dan subur (untuk memperoleh keturunan).
Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik disebutkan :
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk tidak menikah. Beliau kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya” (HR. Ahmad). Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (QS:11:6) Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.(QS;17:31)
Pengertian KB
Pemahaman KB ada dua pengertian :
1. KB dapat dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB didasarkan pada teori populasi menurut Thomas Robert Malthus. KB dalam pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran).
2. KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat) kontrasepsi. Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian kedua diberi istilah tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran).
Pemakaian Alat Kontrasepsi
Di dunia kedokteran tersedia banyak jenis alat kontrasepsi. Sebagian dari alat itu ada yang dianggap tidak sejalan dengan hukum Islam, seperti yang berfungsi membunuh janin. Adalagi yang berfungsi membunuh zygot, untuk pemakaian alat kontrasepsi jenis ini HARAM dalam islam karena bertentangan dengan maksud tujuan agama Islam (maqasidh Assyari’ah) dari adanya pernikahan diatas disamping sebagian dari para ulama juga berpandangan bahwa zygot itu pun harus dihormati layaknya manusia. Namun bila pemakaian alat kontrasepsi tidak sampai membunuh janin atau zygot, melainkan hanya berfungsi untuk menghalangi terjadinya pembuahan oleh sementara kalangan ulama dipandang BOLEH untuk digunakan dengan catatan ada udzur syar'i mencanangkan keluarga berencana demi mengatur jarak kelahiran anak agar nasib anak bisa lebih terawat, mensejahterakan keluarga dll. Sedangkan pemakaian alat kontrasepsi yang tidak sampai membunuh janin atau zygot dengan tanpa adanya udzur syar'i hukumnya MAKRUH.
'Azl atau Senggama Terputus (Coitus Interuptus)
Dalam literatur Fiqh istilah 'Azl diartikan sebagai tindakan suami mencabut penis dalam bersenggama ketika mendekati ejakulasi dan mengeluarkan sperma diluar rahim agar tidak terjadi pembuahan, secara hukum setidaknya ada empat pandangan berbeda mensikapi masalah Azl ini :
1. Boleh Secara Mutlak
Pendapat ini dilansir oleh kalangan Syafi'iyyah dengan berdasarkan hadits Shahih yang diriwayatkan dari Jabir Ra
1. "Kami melakukan Azl dimasa Rasululloh SAW sementara Alquran turun, jika saja hal itu larangan niscaya alQuran akan melarang kami melakukannya" (Mutafaq 'Alaih/Sunan Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620)
2. “Kami melakukan `azl pada masa Nabi SAW. Kabar tersebut sampai kepada beliau, tetapi beliau tidak melarangnya”. (HR Muslim)
Akan tetapi menurut An-Nawawy (Ulama' Syafiiyyah) dalam Syarh Muslim menegaskan apabila Azl dilakukan demi menghindari kehamilan hukumnya makruh secara mutlak baik ada kerelaan pihak istri atau tidak karena tindakan Azl dianggap memutus keturunan.
2. Makruh apabila ada HAJAT
Statement ini dipegang oleh kalangan Hanabilah dengan dasar beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umair dan Ibnu Umair yang membenci Azl karena dapat mengurangi jumlah keturunan yang dianjurkan syara' Sabda Nabi saw "Menikahlah kalian dan memperbanyak keturunan"
3. Boleh apabila ada kerelaan Istri
Pendapat ini Statemen dari Imam ahmad berdasarkan sebuah Hadits dari Umair yang diriwayatkan Ibnu Majah
Dari ‘Umar ibn al-Khattab berkata: "Nabi melarang perbuatan `azl terhadap wanita merdeka kecuali seizinnya”. (HR Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620)
Perlunya kerelaan dari pihak istri ini dikarenakan istri memiliki Hak atas anak sehingga dengan tindakan Azl akan menghilangkan haknya namun apabila istri memberikan memberikan izin hukumnya tidak makruh.
4. Haram
Pendapat ini dilansir oleh kalangan Dhohiriyyah dengan tendensi hadits yang diriwayatkan dari Judzamah
"Sesungguhnya para shahabat bertanya tentang Azl, Nabi menjawab hal itu adalah pembunuhan anak dengan samar" (HR. Muslim)
NAIK DAN TURUN DALAM ISRA' MIRAJ
Naik dan turun ketika peristiwa mi'raj
Dalam tulisan sebelumnya pada telah diuraikan bagaimana mereka mengutip perkataan para Imam Mazhab namun memaknainya sesuai keinginan mereka bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat atau berada di atas' Arsy atau di atas langit.
Kita harus bisa bedakan kapan para Salafush Sholeh, para Imam Mazhab, para pengikut Imam Mazhab, para Habib, para Sayyid sedang menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah atau kapan mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih dari itu. Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana ulama Ibnu Taimiyyah memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Mereka masih saja bersikeras bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat di atas 'Arsy atau di atas langit. Mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla berbatas atau dibatasi dengan 'Arsy atau dengan langit.
Mereka katakan dengan peristiwa Mi'raj membuktikan bahwa Rasulullah mi'raj ketempat Allah Azza wa Jalla berada dan mereka mempertanyakan kami, apakah kami mengingkari mi'raj Rasulullah dengan tubuhnya
Tentulah tubuh Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sampai kepada tempat Beliau bermunajat kepada Allah ta'ala ketika peristiwa Mi'raj namun bukan berarti Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat pada tempat Beliau bermunajat.
Begitupula memaknai hadits Rasulullah berikut
Rasulullah bersabda yang artinya, "Saat yang paling dekat antara seorang hamba dan Rabb-nya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu." (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Janganlah dimaknai bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat di tempat sujud kita
Jadi dalam kisah mi’raj yang kita dengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya.
Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila kita telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama.
Pengertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya Beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan buraq.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi. Kita pun mengenal tempat yang mulia untuk bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla seperti Makkah Al Mukarohmah, Masjid Nabawi, multazam, raudhoh, maqam Ibrahim, hijr Ismal, rukun Yamani, hajar aswad , dll
Walaupun Beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala, karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”
Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
Kami (penulis) mengingatkan kembali bahwa Allah Azza wa Jalla adalah dekat, Dia ada sebagaimana sebelum diciptakan 'Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah dan tidak berpindah. Dia sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Dia dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak. Tidak ada atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang bagiNya karena tidak ada satupun yang sanggup membatasiNya. Dia ada tanpa batas. Yang berubah maupun berpindah adalah ciptaanNya. Setiap yang berpindah mempunyai bentuk dan batas.
Di dalam kitab "Kifayatul "Awam" karya Syeikh Ibrahim Al-Baijuri halaman 60 diterangkan sebagai berikut yang Artinya:
=====
"Dan sifat mustahil yang keempat bagi Allah swt adalah sifat "Al-Mumatsalah (المماثلة)". Artnya: Menyerupai makhluk, lawan dari sifat yang wajib bagi Allah swt yaitu sifat "Al-Mukhalafah (المخالفة)". Artinya: Allah swt berbeda dengan makhluk.
Maka mustahil bagi Allah swt menyerupai makhluk pada sesuatu yang disifatinya. Olehkarena itu, Allah tidak dilewati (diliputi) oleh zaman (waktu), tempat, gerakan, dan diam, dan tidak pula disifati oleh warna-warna dan arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah itu berada di atas jirim (bentuk makhluk seperti manusia) dan berada di sebelah kanan jirim. Begitupula, Allah tidak mempunyai arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa sesungguhnya aku berada di bawah Allah.
ِAdapun ucapan 'awam (orang-orang yang tidak tahu tentang ilmu tauhid) mengatakan bawa sesungguhnya aku berada di bawah Tuhanku dan sesungguhnya Tuhanku berada di atasku merupakan kalam munkar, yang dikuatirkan dapat menimbulkan kekufuran bagi orang yang mengi'tiqadkan atau meyakininya".
Tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Oleh karenanya kita sebaiknya mengingat peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah yang artinya, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah maka sebaiknyalah kita berpegang pada batas-batas yang disampaikan oleh para ulama terdahulu seperti
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula kita seharusnya memperhatikan peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Wassalam
http://httpnurulhuda.blogspot.comSIFAT YANG WAJIB DI KETAHUI SEORANG MUSLIM TENTANG TUHANNYA
SIFAT ALLOH S.W.T YANG WAJIB DI KETAHUI
Allah itu mempunyai sifat wajib,mustahil ( muhal ) dan sifat jaiz ( wenang )
Sifat wajib Allah ada 20 dibagi jadi 4 bagian
1. Sifat Nafsiyah
2. Sifat Salbiyah
3. Sifat Ma’ani
4. Sifat Ma’nawiyah
Sifat Nafsiyah : Sifat yang dinisbahkan kepada Allah yang maksudnya ada, yaitu sifat wujud
Sifat mustahil /lawannya ( muhal ) = adam, artinya tidak ada
Dalil : Allahulladzii khalaqas samaawati wal ardla wamaa baynahuma
( Yaitu Allah, Dzat yang menciptakan tujuh lapisan langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada diantaranya )
Sifat Salbiyah :Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah. Ada 5 sifat yaitu : Qidam,Baqo,Mukhalaf atu lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah
Qidam = sudah sedia ada ( adanya tidak didahului oleh tidak adanya)
Jawa: gusti Allah iku mesti disek disek i ora ono sing disek i, kari ora ono kang ngareni.
Dalil : huwal awwalu wal akhiiru
Huwa yaitu Allah, al awwalu, Dzat yang awal, wal akhiiru dan Dzat yang akhir
Sifat mustahil / lawan ( muhal ) qidam = huduts ( baru )
Baqo = kekal / tetap, tetap dan kekalnya tidak dari diam tidak dari gerak, sebab diam dan gerak itu pekerjaan makhluq
( jawa : tetep , tetepe ora songko obah ora songko meneng, sebab obah lan meneng iku penggawene makhluq )
Dalil : Wayabqaa wajhu rabbika dzul jalaali wal ikraam (Ar Rohman27)
Wayabqaa, dan tetaplah kekal, wajhu rabbika ,dzat Tuhanmu Muhammad, dzul jalaali yang mempunyai sifat keagungan, wal ikraam dan sifat kemulyaan.
Sifat mustahil/Lawan ( muhal ) baqo = fana ( rusak / binasa )
Mukhalafatu lil hawaditsi = berbeda dengan segala sesuatu yang baru ( makhluq ). Jawa: nulayani marang sekabehe barang kang anyar.
Perbedaannya yaitu tidak berbentuk ( ora jerem ), tidak berbadan ( ora jisim ), tidak seperti intan permata ( ora jauhar ), tidak ada rupa ( ora ‘arod ) tidak betingkat – tingkat ( ora juz ), tidak terbagi ( ora kul ), tidak ada dalam fikiran kita.
Dalil : laisa kamitslihi syaiun ( Asyuro 11 )
Laisa, tidak ada, yaitu kamitslihi seperti persamaanNYa Allah, Syaiun dari segala sesuatu
Sifat mustahil / lawan ( muhal ) = mumtsalatu lil hawaditsi ( sama dengan yang baru )
Qiyamuhu binafsihi = Berdiri diatas Dzatnya sendiri
Sifat mustahil / lawan ( muhal ) = Ihtiyaju lighairihi, artinya mustahil jika Allah butuh tempat kepada sesuatu selainNya
Dalil : Innallaha La ghaniyyun ‘anil ‘alamin ( al ankabut : 6 )
Innallaha, sesungguhnya Allah, la ghaniyyun, nyata dzat yang maha kaya/tidak butuh apapun, ‘anil ‘alamiin, kepada semua alam ( tidak butuh tempat, tidak butuh waktu, tidak butuh apapun )
Wahdaniyah = Allah itu Dzat Esa / satu yang hakiki ( jawa : Gusti Allah iku mesti siji kang hakiki )
Esa Dzat, tidak kamuttasil, tidak kammunfasil
Esa sifat, tidak kamuttasil, tidak kammunfasil
Esa perbuatan, kamuttasil wajib, tidak kammunfasil
( jawa : siji Dzate, kamuttasil ora, kammunfasil ora siji sifate, Kamuttasil ora, kammunfasil ora siji panggawene, kamuttasil wajib, kammunfasil ora )
Esa Dzat, tidak kamuttasil artinya Dzat Allah itu tidak seperti bilangan yang dapat disebut seperti bulu, kulit otot, daging, tulang, sum sum, bukan itu.
Tidak Kammunfasil artinya : Dzat Allah itu tidak memakai bilangan yang pisah – pisah seperti jari tangan, jari kaki, bukan itu.
Esa sifat, tidak kamuttasil artinya sifat Allah itu tidak seperti warna yang dapat disebut merah, hijau, kuning, putih, hitam, biru dan seterusnya, bukan itu
Esa sifat, tidak kammunfasil artinya sifat Allah itu tidak seperti bilangan yang dapat dipisah pisah seperti tangan, kaki bukan itu.
Esa perbuatan ( jawa: siji panggawene ) kamuttasil wajib artinya perbuatan Allah itu pasti dapat ditemukan pada ciptaanNya
( jawa : Panngawene Gusti Allah iku mesti tetemu marang gawenane )
Esa perbuatan, tidak kammunfasil artinya Mustahil jika Allah itu sampai terpisah dengan perbuatan atau ciptaanNya
Sifat mustahil / lawan dari sifat Wahdaniyah = Muhal Ta’addud artinya mustahil jika Allah itu sampai memakai bilangan, seperti satu dalam artian bilangan
Dalil : Qul Huwallahu ahad
Qul; katakanlah Muhammad, Allahu yaitu Allah, itu Ahadun satu yang hakiki ( jawa: siji ngijeni kang hakiki )
Sifat Ma’ani : Artinya Allah sebelum menjadikan langit bumi seisinya ini, maka Allah sudah memiliki sifa Ma’ani yaitu Allah sudah kuasa, sudah berkehendak, sifat ma’ani ada 7 yaitu : Qudrat, Iradah, ‘Ilmu, Hayat, Sama’ , Bashar, Kalam
Qudrat = Kuasa
Sifat mustahil / lawan ( muhal ) = ‘Ajzun artinya Lemah ( jawa: apes )
Dalil : Innallaha ‘ala kulli syain qadiir ( Qs Albaqarah 20 )
Innallaha, sesungguhnya Allah, ‘ala kulli Syain diatas segala sesuatu, Qadiruun, Kuasa
Iradat = Allah itu mempunyai kehendak / Berkehendak
Sifat Mustahil/lawan (muhal) = Karohah artinya Mustahil kalau sampai Allah itu terpaksa menuruti kehendak Makhluq ( jawa: kasereng )
Dalil : Fa’aalul lima yuriidu ( Qs Al buruj 16 )
( Dzat yang banyak mencipta segala sesuatu menurut kehendakNya )
‘Ilmu = Allah Maha mengetahui ( Jawa : Ngudaneni )
Sifat Mustahil / lawan ( muhal ) = Jahlun artinya, mustahil jika Allah itu bodoh
Dalil : Innallaha ‘alimun bidzaatish shuduuri ( Qs Al Imron 119 )
Innallaha, sesungguhnya Allah, ‘aliimun, Dzat yang maha mengetahui, bidzaatish shuduuri, diatas orang – orang yang memiliki beberapa macam keadaan hati
( jawa: Setuhune Gusti Allah iku ngudaneni kelawan wong kang anduweni piro – piro ati )
Hayat = Allah itu maha hidup, hidupNya tidak pakai nyawa, tidak pakai sukma
Sifat mustahil / lawan ( muhal ) = Mautun artinya mustahil jika Allah sampai mati.
Dalil : Watawakkal ‘alal hayyilladzii laa yamuutu ( Qs Al Furqan 58 )
Watawakkal, dan bertawakal/pasrah lah engkau Muhammad, kepada Hayyilladzii, Dzat yang maha hidup, laa yamuutu, yang tidak akan mati.
Sama’ = Allah Maha mendengar, mendengarNya tidak pakai telinga ( Jawa : ngerungu, ngerungune ora nganggo kuping)
Sifat mustahil/lawan ( muhal ) = Shomamun, artinya mustahil jika Allah itu tuli
Dalil : Innallaha Samii’un ‘aliim ( Qs Al Imron 34 )
Innallah, sesungguhnya Allah, itu Samii’un, Dzat yang maha mendengar, ‘aliimun dan Dzat maha mengetahui.
Bashar = Allah Maha melihat, melihatNya tidak pakai mata ( Jawa: Gusti Allah iku mesti ningali, ningalane ora nganggo meripat )
Sifat mustahil/lawan ( muhal ) = ‘Umyun artinya mustahil jika Allah buta
Dalil : Wallahu bashiirun bimaa ta’maluna ( Qs Al Hujurat 18 )
( Dan Allah itu Dzat yang maha melihat atas segala sesuatu perbuatan yang kamu lakukan )
Kalam = Allah itu maha berfirman ( berkata – kata ) berkata –katanya Allah tidak pakai suara dan aksara (jawa: Gusti Allah mesti dawuh, dawuhe ora nganggo suoro, ora nganggo aksoro )
Sifat mustahil / lawan ( muhal ) = bukmun artinya mustahil jika Allah itu dzat yang bisu
Dalil : Wakalamallahu Muusa takliiman
Wakalamallahu, dan telah berfirman / berbicara Allah, Muusa kepada nabi Musa, takliiman dengan sebenar – benar berbicara / berfirman.
Sifat Ma’nawiyah : Setelah menjadikan langit bumi sesisinya, Allah mempunyai sifat ma’nawiyah artinya Allah itu Yang Kuasa, Yang berkendak dan seterusnya, sifat ma’nawiyah ada 7 yaitu : Qadiran, Muridan, Aliiman, Hayyan, Samii’an, Bashiiran, Mutakalliman.
Kaunuhu Qadiran = adanya Allah itu Dzat yang Kuasa
Sifat mustahil / lawan = ‘Ajizan artinya mustahil Allah dzat yang lemah
Dalil = sifat qudrat
Kaunuhu Muriidan = adanya Allah itu dzat yang berkehendak
Sifat mustahil / lawan = Karihan artinya mustahil Allah dzat yang tidak berkehendak ( menuruti kehendak makhluq )
Dalil = dalil sifat iradat
Kaunuhu Aliiman = Adanya Allah itu Dzat yang maha mengetahui
Sifat mustahil / lawan = Jahilan artinya mustahil Allah dzat yang bodoh
Dalil = dalil sifat ‘ilmu.
Kaunuhu Hayyan = adanya Allah itu dzat yang maha hidup
Sifat mustahil / lawan = mayyitan artinya mustahil Allah dzat yang mati
Dalil = dalil sifat hayat.
Kaunuhu samii’an = adanya Allah itu dzat yang maha mendengar
Sifat mustahil / lawan = Ashomma artinya mustahil Allah dzat yang tuli
Dalil = dalil sifat sama’
Kaunuhu Bashiiran = adanya Allah itu dzat yang maha melihat
Sifat mustahil / lawan = a’ma artinya mustahil Allah dzat yang buta
Dalil = dalil sifat bashar.
Kaunuhu Mutakalliman = adanya Allah itu dzat yang maha berbicara
Sifat mustahil / lawan = Abkama artinya mustahil Allah dzat yang bisu
Dalil = dalil sifat kalam.
Sifat Jaiz ( kewenangan ) Allah ada satu dijabarkan jadi 5, ditambah sifat mustahilnya 5 jadi 10
1. Allah menjadikan langit bumi seisinya kewenangan Allah, mustahil jika Allah menjadikan langit bumi seisinya wajib
2. Allah menjadikan langit bumi seisinya tidak berharap manfaat, mustahil jika berharap manfaat
3. Allah menjadikan langit bumi seisinya, langit bumi seisinya ini tidak punya daya kekuatan, mustahil jika punya daya kekuatan
4. Allah menjadikan langit bumi seisinya, langit bumi sesisinya tidak punya daya watak / sifat
5. Allah menjadikan langit bumi seisinya ini baru, mustahil jika qidam
Aqaidul iman 50 dibagi jadi 2 yaitu :
1. Istighna’
2. Iftiqar
Istighna’ ankullima siwaahu artinya Allah itu maha kaya, tidak butuh sesuatu selainNya, sifatnya ada 28 ( termasuk sifat wajib, mustahil dan jaiz ) yaitu : wujud, qidam,baqa, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, sama’, bashar, kalam, samii’an, bashiiran, mutakalliman ( 11 ) , sifat mustahilnya 11, jadi 22,
sifat jaiz 3 ( yaitu no 1- 3 diatas ) ditambah mustahil jaiznya 3, jadi 6
22 ditambah 6 = 28
Istighna’ sendiri dibagi menjadi 5
1. Istighna’ fa’il : Allah maha kaya, tidak butuh pada perbuatan ( jawa: ora butuh marang gawe ) sifatnya yaitu : wujud, qidam, baqa, mukhalafatu lil hawaditsi
2. Istighna’ mahal : Allah maha kaya, tidak butuh pada tempat, sifatnya yaitu qiyamuhu binafsihi
3. Istighna’ mukammil : Allah maha kaya, tidak butuh pada sesuatu yang menyebabkan sempurna, sifatnya yaitu sama’ bashar, kalam, samii’an, bashiiran, mutakalliman
4. Istighna’ maf’ul : Allah maha kaya, tidak butuh pada ciptaanNya, sifatnya sifat jaiz no 1 dan 2, ditambah sifat mustahil dari sifat jaiz tersebut.
5. Istighna’ washitoh : Allah maha kaya, tidak butuh pada lantaran, sifatnya sifat jaiz no 4 ditambah sifat mustahil dari sifat jaiz tersebut.
Iftiqar kullima ‘adaahu ilahi : setiap sesuatu selain Allah pasti butuh pada Allah
terdiri dari 22 sifat ( wajib, mustahil, jaiz ) Yaitu : qudrat, iradat, ilmu, hayat, qadiran, muriidan, ‘aliiman, hayyan, samii’an, wahdaniyah ( 9 sifat ) mustahilnya 9 sifat, ditambah sifat jaiz no 4 dan 5, serta sifat mustahil bagi sifat jaiznya 2, jadi jumlahnya 22 sifat.
Istighna’ 28 sifat , dibagi jadi 2
1.Sifat kamal artinya sempurna, terdiri dari 12 sifat ( wajib, mustahil, jaiz )
2.Sifat Jamal artinya indah, terdiri dari 16 sifat ( wajib, mustahil, jaiz )
Iftiqar 22 sifat dibagi jadi 2
1.Sifat Jalal, artinya Agung, terdiri dari 10 sifat ( wajib, mustahil, jaiz )
2.Sifat Qohar, artinya Perkasa, terdiri dari 12 sifat ( wajib, mustahil, jaiz )
Istghna’ 28 sifat ditambah iftiqar 22 sifat disebut aqaidul iman 50
Semua sifat diatas terangkum dalam kalimah tauhid :
Laa ilha illa Allah
Laa, mengandung sifat kamal 12
Ilaha, mengandung sifat jamal 16
Illa, mengandung sifat jalal 10
Allahu, mengandung sifat qohar 12
Jumlah 50 sifat.
Huruf kalimah tauhid laa ilaha illa Allah, 12 huruf
Lam, lafad Laa, artinya tidak ada yang lainnya
Alif, lafad laa, mustahil jika Allah ada yang lainnya lagi.
Alif, lafad ilaha, itsbat iradat artinya tetap pada kehendak Allah
Lam, lafad ilaha, Nafi mujtahid nakiroh, artinya hati – hati jangan berharap pada Tuhan yang lain, kecuali Allah.
Ha, lafad ilaha, itsbat ahadiyah, tetap satu/esa dzat Allah
Alif, lafad illa, itsbat hidayah, tetap petunjuk dari Allah
Lam, lafad illa, lam nafi ‘ubudiyah, artinya tidak ada sesembahan selain Allah
Alif, lafad illa, artinya mustahil jika ada sesembahan selain Allah.
Alif, lafad Allahu, itsbat wahdiyah, tetap satu hakiki sifat Allah
Lam awwal, lafad Allah, itsbat ta’dim artinya tetap keagungan milik Allah
Lam tsani, lafad Allah, mustahil jika Allah itu tidak bersifat agung.
Ha, lafad Allah itsbat Hawiyah, artinya tetap keluasan milik Allah
Huruf Lafad Allah itu ada 4, menunjukkan kalau ilmu ada 4 yaitu :
1. Ilmu Syari’at
2. Ilmu Thoriqoh
3. Ilmu haqiqah
4. Ilmu Ma’rifah
Ilmu syari’at
artinya aturan tempatnya di lisan, orangnya harus mempunyai niat, ibadah wudlunya dengan air, sholatnya berdiri, ruku’, sujud, duduk, yang mengerjakan 7 anggota badan
Ilmu Thoriqah
Artinya jalan atau perjalanan, tempatnya di hati, orangnya harus berbuat atau beramal, ibadah wudlunya meninggalkan sifat dengki atau hasud, sholatnya menampakkan sifat belas kasih sesama makhluq, yang mengerjakan hati
Ilmu Haqiqah
Artinya Nyata, tempatnya di ruh atau nyawa, orangnya harus meninggalkan perasaan bisa ( jawa : tinggal rumongso ) ibadah wudlunya harus tinggal takabbur, ujub dan sombong, sholatnya menampakkan sifat sabar yang mengerjalan ruh.
Ilmu ma’rifah
Artinya mengerti / mengetahui, tempatnya ada di rasa ( jawa: pangeroso ) orangnya harus ngerti, ibadah wudlunya tenang ( jawa : anteng ) sholatnya harus sungguh – sungguh ( khusyuk dan mudawamah / terus menerus tanpa mengenal waktu ) yang mengerjakan rasa (jawa: pangeroso )
Macam Syahadat :
1.Syahadat Mutaawwilah artinya syahadat yang pertama, Syahadatnya Allah sendiri
Dasarnya adalah : Innanii anallahu laa ilaha illa ana ( Qs Thoha 14 )
( Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku )
2.Syahadat Mutawashitoh artinya Syahadat yang tengah – tengah, seperti syahadatnya malaikat, para nabi dan rasul dan para orang mukmin semua, yaitu : Asyahadu anlaa ilaha illallah
dasar dalil : Syahidallahu annahu laa ilha illa huwa wal malaikatu wa ulul ‘ilmi ( QS Al Imron 18 )
3.Syahadat Muta akhirah artinya syahadat yang terakhir yaitu syahadat umum orang islam semua
Syarat orang membaca syahadat harus memenuhi 3 perkara
1.Nur Hidayah, barang siapa yang mendapat nur hidayah akan dijaga dari sifat musyrik dan perilaku syirik
2.Nur Inayah, barang siapa yang mendapat nur inayah maka akan dijaga dari dosa besar
3.Nur kifayah, barang siapa mendapat nur kifayah maka akan dijaga dari bersitan hati yang kotor dan jelek.
Sempurnanya iman harus meninggalkan 4 perkara yaitu :
1.harus meniadakan pertanyaan kaifa ? ( Bagaimana Allah )
2.harus meniadakan pertanyaan, kam ? ( berapa Allah )
3.harus meniadakan pertanyaan ma ta ? ( kapan Allah itu ada )
4.harus meniadakan pertanyaan ayna ? ( dimana allah )
artinya selama kita masih mempunyai keraguan atas pertanyaan diatas, dan belum mendapat jawaban, maka itu tanda iman kita belum sempurna.
Tanda islam itu ada 4 yaitu :
1. Mengaku lemah dan fakir dihadapan Allah
2. Suci lisan dari bohong
3. Suci badan dari najis
4. Suci perut dari barang haram
Rusaknya Islam itu ada 4 perkara
1. Melakukan amal perbuatan tanpa ilmu, tidak tahu wajib, sunnah atau mubah/wenang
2. Mengerti ilmu tapi tidak mau beramal
3. Tidak mengerti atau tidak tahu, tapi tidak mau bertanya
4. Menghalang – halangi dan menjelekkan orang yang mencari kebaikan karena Allah
Wallahu ‘alam bishawab.
Hanya untuk referensi :
1. Untuk aplikasi / penerapan tauhid dalam kehidupan sehari – hari, kitab rujukan al hikam, Syeikh Ibnu Athaillah al iskandari
2. Untuk pendalaman tauhid, kitab rujukan, Al insan al kamil, syeikh Abdul karim ibnu ibrahim al jilli, kasyful mahjub ( syeikh Al hujwiri ), Jami’ al ushul fi al auliya,
3. kitab pendukung tassawuf, Risalah al qusyairiyah ( syeikh abul qasim al Qusyairy), Al fath al rabbani, Sirrul al Asraar ( syeikh Abdul Qadir al Jailani ), Minhaj Al ‘Abidin ( Syeikh Imam Al Ghazali ), Minahus Saniyah ( syeikh Abdul wahab asy sya’rani )
MASALAH TAQDIR
Taqdir ada yg Mubram (tidak bisa berubah, seperti hari Kiamat, keberadaan sorga, neraka, kematian dan hal hal lain yg sudah keputusan Allah yg tak lagi dikehendaki Allah untuk diubah.
Taqdir Mu'allaq, yaitu ketentuan Allah swt yg sudah ALlah tentukan namun Allah swt Maha Mampu merubahnya, seperti rizki, jodo, usia, dll.
Tubuh kita ini bagaikan mobil untuk kita, dan alam dunia ini adalah jalan jalan yg dibuat oleh majikan kita. anggaplah kita berada di suatu negeri/ kerajaan,
kita diberi mobil, nah.. silahkan pakai, mobil ini dari Raja, milik raja, dan ini bukan mobil pribadi, ini mobil dinas, ada rumah dinas, dan ada uang operasional.
tapi tentunya mobil dinas boleh saja dipakai hajat pribadi selama ia menjalankan tugasnya dulu, demikian pula rumah, dan uang operasional.
anda naik mobil itu, anda jalan kearah manapun terserah anda, tapi semua jalanan itu milik raja, Raja yg ciptakan jalan ke jurang, Raja yg ciptakan jalan ke tempat hiburan.
Anda tak akan sampai ke jurang kecuali melewati jalan yg sudah dibuat oleh raja, juga tak bisa pergi ke tempat hiburan kecuali melewati jalan yg sudah dibuat oleh raja, anda tak memiliki jalan sendiri, tak mampu membuat jalan sendiri.
mobil milik raja, anda tak bisa membuat mobil sendiri, tapi mau dipakai ke jurang atau dipakai ke tempat hiburan pun bisa, namun tak akan sampai kesana kecuali dg kuasa raja pula karena jalan itu milik raja. mobil milik raja, jika dipakai tugas maka diganjar upah, jika bertugas dengan lebih baik maka diganjar lebih, jika sangat baik maka dicintai raja,nah.. Allah swt pun demikian, Allah yg memiliki seluruh amal kita, mau berama baik atau buruk, toh panca indra milik Allah juga, bisa dipakai baik dan bisa dipakai buruk, dan ganjarannya kembali pada kita,
sebagaiaman kerajaan tadi, mobil mau dipakai untuk melanggar aturan pun silahkan saja, namun nanti tanggung sendiri hukumannya, lalu kenapa raja ini menciptakan dua jalan..?
firman Nya swt: "Apakah tak terlintaskan pada manusia itu bahwa dahulu pada suatu masa mereka tak pernah ada?kami yg menciptakan manusia dari air mani dan kami jadikan mereka melihat dan mendengar, dan sungguh Kami berikan pada mereka jalan kehidupan, maka mereka bersyukur atau kufur nikmat" (QS Al Insan 1-3). firman Nya pula : "Maka barangsiapa yg mau memberi (Sedekah dll) dan bertakwa, dan bersedekah dengan kebaikan, maka kami akan permudah ia menuju kemudahan (kenikmatan yg lebih lagi dan kemudahan dunia dan akhirat), dan Barangsiapa yg kikir dan merasa tak butuh, dan mendustakan kebaikan, maka kami akan mempermudahnya menuju kesulitan" (QS Allail 5-10).
manusia melewati kehidupan dan ketentuan Allah swt namun ketentuan Allah bisa berubah, sebagaimana kita memahami bahwa Qadha (ketentuan Allah) ada yg Mubram (tak bisa berubah) dan ada yg Mu'allaq (bisa berubah), sabda Rasul saw : "Doa dapat merubah Qadha" (Mustadrak ala shahihain hadits no.6038).
kita berbuat dan beramal, dan memasrahkan segalanya kepada Allah, kita mepunyai keinginan dan berusaha, namun bila kehendak Allah berbeda maka kita tenang dan tak risih, ridho dengan kehendak Nya swt. manusia berbuat, namun sesekali ia bukanlah Maha Pengatur, ia berbuat namun tak bisa memaksakan kehendak Allah agar Allah menuruti kemauannya, ia selayaknya menerima keputusan Sang Pemilik Nya swt, sebagaimana anak yg patuh akan menerima kemauan ibunya walau bertentangan dengan keinginannya, ia jatuhkan kemauannya dan ia bersabar atas kemauan ibunya, lebih lebih lagi atas kemauan kekasih tunggalnya yaitu Allah swt, yg menciptakan ibu dan ayahnya, kita mempunyai kehendak, namun ketika kita sadar ternyata kehendak Nya berbeda dengan kemauan kita dalam suatu hal, maka kita tenang dan bersabar atas kemauan Nya swt, dan inilah hakikat hamba, mustahil hamba mengangkat dirinya atas tuhannya hingga memaksa agar tuhannya mesti patuh pada keinginannya.
Tawakkal yg benar adalah tawakkal yg diserrtai usaha, yaitu berusaha namun memasrahkan hasil kerjanya pada Allah, bila berhasil maka ia bersyukur karena ALlah sesuai dan setuju dg usaha dan kemauannya, dan bila tak berhasil ia bersabar karena ternyata kehendak Allah swt tak sesuai dg keinginannya, inilah yg disebut tawakkal.
Jabariyah adalah pemahaman yg mengatakan bahwa amal shalih bukanlah sebab masuknya kita ke sorga dalam segala hal,
Qadariyah, yg meyakini bahwa sorga adalah bayaran dari amal kita secara mutlak. dan kedua faham ini batil, bahwa kita beramal dan Allah swt menentukan diterimanya amal itu atau tidak. tentunya kita tak berpangku tangan, tidak pula mengandalkan amal untuk memastikan masuk sorga dan bebas dari neraka. (Fathul Baari Almasyhur juz 11 hal 296.
firman Allah swt :Barangsiapa yg memberi dan bertakwa, dan membenarkan apa apa yg mulia, maka kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan, namun mereka yg kikir dan merasa tak perlu, dan mendustakan kemuliaan, maka kami akan memudahkan baginya jalan kesulitan" (QS Allail 5-10)
Ayat ini menjelaskan bahwa perbuatan baik akan memudahkan keadaan dan perbuatan buruk akan mempersulit keadaan kita.
firman Allah swt : "Demi manusia dan penciptaannya, telah diilhamkan padanya kejahatannya dan ketakwaannya, maka telah beruntunglah mereka yg menyucikan dirinya, dan telah merugilah mereka yg mengotori dirinya" (QS Assyams 7-10).
ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah menyampaikan lewat para nabi Nya ajaran kemuliaan, dan beruntung yg memilih kemuliaan dan merugi yg memilih kejahatan, maka Allah swt memilihikan bagi mereka untuk memilih jalan hidupnya.
firman Allah swt : "Apakah mereka mengira tak ada satu yg melihat mereka?, bukankah kami telah berikan pada mereka dua mata, dan lidah serta kedua bibir, dan kami berikan pada mereka dua jalan" (QS AL Balad 7-10). ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt memberikan pilihan pada kita dua jalan.
firman Allah swt : "Kami menciptakan mereka dari air mani, dan kami jadikan mereka melihat dan mendengar, sungguh kami berikan pada mereka jalan kehidupan, apakah mereka bersyukur atau kufur" (QS Al Insan 2-3). Allah Maha Tahu apa yg akan terjadi pada makhluk Nya, dan Allah Maha Menentukan setiap takdir hamba Nya, apakah dalam neraka, atau dalam sorga, apakah miskin atau kaya, apakah hina atau mulia, apakah jahat atau shalih, namun manusia diberi kebebasan untuk berbuat, dan perbuatan manusia itu bisa saja merubah takdirnya, dan takdir Allah swt ini bisa saja berubah dan tidak selamanya baku. sebagaimana contohnya anda memiliki kolam ternak ikan, anda telah memastikan pengaturan dan nasib ikan itu, dalam 3 bulan anda menjualnya ke pasar, anda memberinya makan setiap pk 7 pagi (misalnya), anda memberinya vitamin setiap minggu, anda memindahkannya ke kolam lain setiap 2 minggu.
hal hal semacam itu lumrah saja, dan takdir ikan itu ditangan anda (dari Allah yg memasrahkannya ketangan anda). namun bisa bisa saja anda merubah keputusan dan mengambil ikan itu beberapa untuk dimasak sendiri, boleh saja anda memindahkan satu diantaranya untuk di taruh di aquarium di kamar anda. kesimpulannya bahwa anda memiliki hak penuh untuk berbuat apa saja pada ikan ikan anda, dan semua keputusan nasib ikan itu terserah anda, bila anda memutuskannya untuk dibuang esok maka tentunya akan terjadi, namun bila anda memutuskannya dijual esok, lalu esok anda membatalkannya maka boleh boleh saja dan itu sangat mungkin terjadi, namun ikan itu tak punya hak menentukan nasibnya sendiri.nah.. demikianlah kita dimata Allah swt, kita boleh beramal namun tetap kita tak berhak menentukan nasib sendiri dan memastikan keinginan kita, namun Dia Yang Maha Penyantun memberi hak kepada kita dg berubahnya takdir bila kita berdoa dan meminta kepada Nya, namun sesekali bukan kewajiban Nya untuk mesti taat pada doa kita.
kita bukan Jabriyah yg mengatakan bahwa Allah tidak menentukan apa apa atas nasib kita, terserah kita sepenuhnya, faham ini sesat karena ia telah menafikan hak Allah atas ciptaan Nya. kita bukan pula Qadariyah yg mengatakan semua kita ini hanya boneka Allah, semua sudah ditentukannya dan kita hanyalah wayang wayang mainan yg tdk bisa apa apa. kita diantara keduanya, yaitu : Dia maha Menentukan segala galanya, namun ketentuan Nya dapat berubah bila Dia menghendaki, dan doa kita bisa pula merubah ketentuan Nya, dengan panjangnya usia, meluasnya rizki, selama hal itu dikehendaki Nya,
1. Aqidah Asy’ariyyah adalah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang wajib yang berjumlah 20 sifat. Begitu juga yang mustahil 20 sifat dan yang jaiz 1 sifat dan yang lainnya yang dapat diketahui dari buku-buku tauhid seperti Kitab Sifat Dua Puluh karangan Habib Usman bin Yahya dan kitab lainnya
Adapun aqidah Asmaa wa sifaat adalah bagian aqidah kelompok yang dikenal dengan Wahabiyyah, dalam aqidah ini mereka mengajarkan bahwa aqidah terbagi tiga bagian yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Ukuhiyyah dan Asmaa wa sifaat. Perbedaan yang prinsip antara 2 kelompok diatas diantaranya dengan aqidah asmaa wa sifaat mereka berkeyakinan bahwa Allah dengan Zat Nya bersemayam diatas A’rsy sedangkan Ahlussunnah menta’wilkan ayat yang dijadikan dalil oleh mereka yaitu Firman Allah اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى Bahwa Allah tidak bersemayam dengan Zat Nya diatas ‘Arsy secara singkat perbedaan antara keduanya bahwa Ahlussunnah menggunakan ta’wil dalam ayat2 sifat dengan ta’wil yang layak bagi Allah swt dengan segala kesucian Nya sedang mereka tidak menerimanya
2. Tentu setelah anda tahu bahwa aqidah Asy’ariyyah adalah aqidah Ahlussunnah maka inilah yang harus dipegang sampai wafat. Mudah-mudahan Allah wafatkan kita semua dalam Khusnul Khotimah, Amin mengenai masalah yg mereka selewengkan adalah masalah takwil,
Mengenai ayat mutasyabih yg sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yg sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yg hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut. Sebagaimana makna Istiwa, yg sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dg hadits qudsiy diatas, yg berarti Allah itu tetap di langit yg terendah dan tak pernah kembali ke Arsy.
sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yg terendah. Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yg bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yg tidak baik yg mempermasalahkan masalah ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10).
dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat. Juga sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya....” (shahih Bukhari hadits no.6137)
Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yg taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya. Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih
2.Pendapat Ta’wil
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu hanifah. dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah. seperti ayat : ”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14). Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569) apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy). Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182) Walillahittaufiq
KAFIRNYA MUJASIMAH
[ Aqidah ahlussunnah wal jama’ah ]
Al-Imam Abu Ja'far Ahmad Ibn Muhammad Ibn Salamah ath-Thahawi (227-321 H) berkata: "Maha Suci Allah dari batas-batas , penghabisan (batas akhir), sisi-sisi, anggota badan yang besar maupun anggota badan yang kecil. Dia (Allah) tidak diliputi oleh satu maupun enam arah (penjuru), Dia tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah (penjuru) tersebut".
Perkataan al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi di ...atas merupakan Ijma' (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. stlh itu imam atthahawi brkata: siapa yg mnsifati allah dngn salah satu shifat makhluk(arah,tempt dll) maka dia dihukumi kafir,imam syafii jg brkata: siapa yg brkeyakinan allah itu duduk di arsy maka dia kafir ,tdk sah shalt dbelakangnya.
Al-Imam al-Hafidh 'Abdur Rahman Ibn 'Ali Ibn al-Jawzi (W. 597 H) mengatakan dalam kitabnya "Daf'u Syubah at-Tasybih" :
-"إِنَّ مَنْ وَصَفَ اللهَ بِاْلمَكَانِ وَالْجِهَةِ فَهُوَ مُشَبِّهٌ مُجَسِّمٌ لِلّهِ لاَ يَعْرِفُ مَا يَجِبُ لِلْخَالِقِ"
Maknanya: "Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah, maka ia adalah seorang "musyabbih" (yaitu orang yang menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya) dan "mujassim" (orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim atau benda) yang tidak mengetahui sifat Allah ".
Al-Hafidh Ahamad Ibn 'Ali Ibn Hajar al 'Asqalani (W. 852 H) dalam kitab "Fath al-Bari Syarh Shahih al Bukhari" mengatakan :
-"إِنَّ الْمُشَبِّهَةَ الْمُجَسِّمَةَ للهِ تَعَالَـى هُمُ الَّذِيْنَ وَصَفُوْا اللهَ بِاْلـمَكَانِ وَاللهُ مُنَـزَّهٌ عَنْهُ ".
Maknanya: "Sesungguhnya golongan "musyabbihah" dan "mujassimah" adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah Maha Suci dari tempat".
Di dalam kitab "Al-Fatawa al-Hindiyyah", cetakan Dar Shadir, jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut: Maknanya: "Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta'ala ".
Juga dalam kitab "Kifayah al-Akhyar" karya al Imam Taqiyyuddin al-Hushni (W. 829 H), Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis sebagai berikut : "... hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa "mujassimah" adalah kafir, Saya (al Hushni) berkata : "Inilah kebenaran yang tidak dibenarkan selainnya, karena tajsim jelas menyalahi al Qur'an. Semoga Allah memerangi golongan mujassimah dan mu'aththilah
قال الإمامُ أبو جَعْفَر الطَّحاوِيُّ المَوْلُوْدُ سَنَةَ 227 هـ وَالمُتَوَفَّى سَنَةَ 321 هـ : "تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ المُبْتَدَعَاتِ".
Al-Imam Abu Ja'far Ahmad Ibn Muhammad Ibn Salamah ath-Thahawi (227-321 H) berkata: "Maha Suci Allah dari batas-batas , penghabisan (batas akhir), sisi-sisi, anggota badan yang besar maupun anggota badan yang kecil. Dia (Allah) tidak diliputi oleh satu maupun enam arah (penjuru), Dia tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah (penjuru) tersebut".
-Al-Imam ath-Thahawi juga mengatakan:
- " وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرِ فَقَدْ كَفَرَ "
Maknanya: "Barangsiapa yang mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia, maka ia telah kafir".
Asy-Syaikh Ibn al-Mu'allim al-Qurasyi (W. 725 H) menyebutkan dalam karyanya "Najm al Muhtadi", beliau menukil perkataan al-Imam al-Qadli Najmuddin dalam kitabnya "Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih" bahwa ia menukil perkataan al-Qadli Husayn (W. 462 H) bahwasanya al-Imam asy-Syafi'i menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas 'arsy dan tidak boleh shalat (makmum) di belakangnya.
Maknanya: "Barang siapa yang mengatakan bahwa Allah duduk diatas 'arys, maka ia telah kafir dan tidak sah shalat bermakmum dibelakangnya"
TAUBATNYA IBNU TAIMIYAH
IBNU TAIMIYAH AKHIRNYA TAUBAT
Di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-mandir masuk penjara dan wafat di penjara sebagaimana nanti akan diutarakan ucapan dari para ulama. Berikut ini pernyataan Ibnu taimiyyah tentang pertaubatannya:
الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره. كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة
“ Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt “ الرحمن على آلعرش آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama’ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama’ah yang hadir ini. Semua yang bertentangan dengan akidah ini adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku tulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan “ Telah menulisnya : (Ahmad Ibnu Taimiyyah) Kamis, 6-Rabiul Awwal-707 H.
Di atas surat pernyaan itu telah ditanda tangani di bagian atasnya oleh Ketua hakim, Badruddin bin jama’ah. Pernyataan ini telah disaksikan, diakui dan ditanda tangani oleh : – Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi’i, beliau menyatakan : اعترف عندي بكل ما كتبه بخطه في التاريخ المذكور (Aku mengakui segala apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah ditanggal tersebut) – Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali : اعترف بكل ما كتب بخطه (Aku mengakui apa yang telah dinyatakannya) – Ahmad bin Rif’ah – Abdul Aziz An-Namrowi : أقر بذلك (Aku mengakuinya) – Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi’I : أقر بذلك كله بتاريخه (Aku mengakui itu dengan tanggalnya) – Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini : جرى ذلك بحضوري في تاريخه (Ini terjadi di hadapanku dengan tanggalnya) – Abdullah bin jama’ah (Aku mengakuinya) – Muhammad bin Utsman Al-Barbajubi : أقز بذلك وكتبه بحضوري (Aku mengakuinya dan menulisnya dihadapanku).
Mereka semua adalah para ulama besar di masa itu salah satunya adalah syaikh Ibnu Rif’ah yang telah mengarang kitab Al-Matlabu Al-‘Aali “ syarah dari kitab Al-Wasith imam Ghozali sebanyak 40 jilid.
10 AQIDAH KAUM SYIA'H
SEPULUH KESIMPULAN AQIDAH SYI'AH
Saudara se-aqidah, untuk menambah pengetahuan kita tentang Aqidah Syi'ah sebenarnya, berikut kami hadirkan sepuluh kesimpulan tentang Aqidah Syi'ah yang bersumber dari induk kitab-kitab Assyi'ah (Al-Kafi, Man La Yahdhuruhul-Faqih, Attahdzib, dan Al-Istibshar):
1. Kaum Syi'ah Rawafidh berkeyakinan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam semuanya murtad dari Agama Islam setelah Rasulullah wafat, kecuali belasan orang saja.
2. Kaum Syi'ah berkeyakinan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam (selain beberapa orang saja yang mereka sebut dalam buku-buku rujukan agama mereka) telah berkhianat kepada Allah dan RasulNya dan mengkhianati amanat-amanat yang Rasulullah serahkan kepada mereka, dan mereka telah merubah-rubah Al-Qur'an yang diamanatkan ke tangan mereka. Barang siapa mengikuti dan membela mereka (para sahabat yg sesat itu), maka ia kafir dan tidak diterima amalan maupun kebajikan apapun darinya.
3. Kaum Syi'ah berkepercayaan bahwa khilafah harus ada pada Ali Bin Abi Thalib, kemudian anaknya Al-Hasan, kemudian Al-Husin, dan kemudian sembilan orang lagi dari cucunya Al-Husin, dan tidak boleh pada selain mereka itu, sekalipun dari anak-anaknya Al-Hasan, atau keluarga Rasulullah yang lain. Adapun Abu Bakar, Umar, Utsman, dan yang lainnya, menurut Syi'ah telah merampas kekuasaan dari Ali dan anak-anaknya. Maka perampasan itu menjadi dhalim, fasiq, kafir, wajib dilaknat, dan wajib kekal dalam neraka.
4. Kaum Syi'ah percaya bahwa Al-Qur'an yang ada ini sesungguhnya telah dirubah, ditambah dan banyak dikurangi (oleh para sahabat yang mereka yakini murtad), dan isinya hanya sepertiga dari Qur'an yang asli, yang disimpan oleh Imam mereka yang Ghaib, Muhammad bin Hasan Al-Askari, yang akan membawanya nanti apabila dia keluar dari gua persembunyiannya bila tiba waktunya, kemudian Imam Ghaib mereka tersebut akan menyingkirkan Al-Qur'an yang ada di tangan kaum muslimin sekarang. Sementara imam ghaib mereka itu belum keluar dari gua persembunyiannya, para Imam Syi'ah memerintahkan seluruh pengikut Syi'ah untuk memakai Al-Qur'an yang ada sekarang ini secara terpaksa dan ber-taqiyyah, sampai Imam Ghaib mereka datang membawa Al-Qur'an yang asli, yang dihimpun oleh Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib.
5. Kaum Syi'ah percaya bahwa para imam mereka mengetahui ilmu ghaib, mengetahui yang telah dan akan terjadi, mengetahui apa yang ada di surga dan neraka, mereka tidak akan mati kecuali dengan ikhtiar dan kehendak mereka sendiri, derajat mereka lebih tinggi dari derajatnya para malaikat dan para rasul, roh-roh mereka diciptakan dari cahaya keagungan Allah; sedangkan tubuh-tubuh dan roh-roh Syi'ah mereka Allah ciptakan dari sejenis tanah yang tersimpan dan terpelihara di bawah Al-Arsy, bahan baku dan materi dari para Imam dan kaum Syi'ah diciptakan dari materi khusus untuk mereka saja, sedangkan manusia lainnya diciptakan dari jenis materi yang menjadi kayu bakar untuk api neraka.
6. Kaum Syi'ah percaya bahwa sunnah dan hadits-hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab shahih, sunan, dan musnad-musnad kaum Muslimin Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak bernilai, bahkan jika dibandingkan dengan nilai sayap seekor nyamuk.
7. Kaum Syi'ah percaya kepada Aqidah Arraj'ah, yaitu kembalinya roh-roh ke jasadnya masing-masing di dunia, sebelum Hari Qiyamat, dikala Imam mereka yang Ghaib keluar dari persembunyiannya. Imam mereka itu nanti akan menghidupkan kembali Ali bin Abi Thalib beserta anak-anaknya dan para Syi'ahnya untuk menghukum musuh-musuhnya, serta melampiaskan pembalasan dendam kepada musuh-musuh mereka tersebut, yang juga akan dihidupkan kembali pada waktu itu. Menurut Syi'ah, musuh-musuh tersebut adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafsah, dan siapa saja yang mengikuti dan membenarkan mereka.
8. Kaum Syi'ah percaya Aqidah Al-Bada, yaitu hilangnya sesuatu dari pengamatan Allah, kemudian nampak kembali bagi-Nya. Kaum Syi'ah percaya kalau para Imam mereka ma'sum (tidak dapat lupa, tidak dapat khilaf, dan tidak berbuat salah, dan sempurna sejak mereka lahir hingga mati). Telah disebutkan oleh Ulama mereka, Annubakhti, bahwa Ja'far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir menentukan keimaman anaknya sendiri , Ismail (membai'at Ismail menjadi IMAM), sewaktu Ismail masih hidup. Tetapi kemudian Ismail mati sewaktu ayahnya masih hidup, kemudian Ja'far berkata, "tidak ada yang tampak bagi Allah dalam sesuatu hal, sebagaimana yang tampak bagiNya dalam anak saya Ismail." (Kitab Firaqus Syi'ah halaman 84). Ini dilakukan Ja'far untuk melepaskan diri dari problem ISHMAH, bahwa para Imam tidak dapat lupa atau khilaf, lalu mengada-ada dengan Aqidah Bada. Bagi mereka dalam soal ini, Aqidah Bada adalah tampak bagi Allah dalam hal Ismail yang tadinya tidak tampak, atau sederhananya; Allah bisa Khilaf tetapi Imam mereka tidak.
9. Kaum Syi'ah percaya kepada TAQIYYAH dan berkata bahwa taqiyyah itu adalah agamanya dan agama leluhurnya, dan mereka berkata tidaklah beriman barang siapa tidak pandai ber-taqiyyah dan bermain watak. Arti taqiyyah adalah, menampakan selain yang mereka niatkan dan sembunyikan. Apabila mereka bertemu orang beriman, mereka katakan kami ini beriman, tetapi jika mereka menyendiri atau berkumpul dengan tokoh-tokoh mereka, mereka berkata sebenarnya kami tetap menyertai kamu, kami hanya memperdaya mereka.
10. Kaum Syi'ah percaya adanya NIKAH MUT'AH yang telah diharamkan Allah atas kaum Muslimin sampai Hari Qiyamat. Aqidah Syi'ah berkata, "dipersilakan sekaligus anda kawini seribu perempuan itu, sebab mereka adalah wanita sewaan". Diriwayatkan oleh Al-Kulaini, bahwa Abban bin Ta'lab berkata kepada Ja'far As-Shadiq pada suatu perjalanan dan melihat wanita cantik, Abban ragu kalau wanita tersebut sudah mempunyai suami atau wanita jalang, maka dijawab oleh Ja'far, "itu tidak menjadi soal bagimu, yang penting percaya saja apa yang dikatakan wanita itu." Tidak cukup dengan dusta itu saja, Syi'ah malah menggalakan serta menghimbau pengikut mereka untuk melakukan mut'ah dengan berani berdusta atas nama Allah dan RasulNya, para Imam mereka berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Barang siapa kawin mut'ah satu kali, derajatnya sama dengan Al-Husin. Barang siapa mut'ah dua kali, derajatnya sama dengan derajat Al-Hasan. Barang siapa mut'ah tiga kali, derajatnya sama dengan derajat Ali bin Abi Thalib. Barang siapa mut'ah empat kali, derajatnya sama dengan derajatku (Rasulullah)." (Tafsir Minhajussadiqin 2-493). Mereka juga berkata, kawin mut'ah itu bermula dan berakhir tanpa saksi, tanpa wali, tanpa, warisan, tanpa perceraian, dan diperbolehkan walau hanya satu jam, satu hari, atau lebih dari itu menurut hajat dan keperluan kepada wanita-wanita itu.
Saudara se-aqidah, demikian ringkasan i'tikad dan kepercayaan Syi'ah, kami nukil, tulis, dan jelaskan sebagai bahan untuk memperkuat keimanan kita. Namun, bagaimanapun serta dengan alasan apapun juga hal di atas tidak dapat dihubungkan atau dikaitkan dengan Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dari Tuhannya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Islam yang Allah telah sempurnakan sebagai agama penggenap nikmat dan ridha-Nya.
Terakhir; membaca, menyimak, dan mempelajari sumber rujukan dan kitab-kitab asli Syi'ah, serta sesuai fakta SEPULUH KESIMPULAN AQIDAH SYI'AH tersebut diatas, dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim; kami menyatakan tidak sependapat jika Aqidah Syi'ah ini disebut sebagai Agama atau Aqidah atau sebagian dari Agama atau Aqidah Islam, tetapi cukuplah sebutan kepadanya dengan Aqidah atau Agama Syi'ah saja. Allahu Akbar!
STATUS ANAK HASIL ZINA
MEMBUKA TABIR HADITS TENTANG
"TIDAK MASUK SURGA ANAK HASIL ZINA"
Pendahuluan
Untuk mengawali pembahasan ini, terlebih dahulu akan kita tampilkan sebuah hadits yang jika hanya difahami secara tekstual tanpa melihat dalil lain, akan membuat bulu kuduk berdiri. Hadits itu adalah;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"لا يَدْخُلُ وَلَدُ الزِّنَا الْجَنَّةَ، وَلا شَيْءٌ مِنْ نَسْلِهِ إِلَى سَبْعَةِ آبَاءٍ".(رواه الطبرانى)
Diceritakan dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda: "Tidak masuk surga anak hasil zina dan tidak satupun dari keturunan mereka sampai tujuh turunan". HR. Tabrany)
عَن ْعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَو بن العاص, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَدُ زَنِيَةٍ". (رواه ابن حبان فى صحيحه)
Diceritakan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak masuk surga yaitu anak dari wanita pezina (". (HR. Ibnu Hibban)
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang eksistensi posisi hadits tersebut, jika difahami sekilas dua hadits di atas memang menakutkan dan terkesan diskriminasi. Padahal dalam kehidupan ini tidak sedikit manusia yang melakukan zina dan menghasilkan keturunan. Bahkan pada awal masa Rasulullah SAW pun kasus perzinaan masih tetap marak dikarenakan kebudayaan jahiliyyah sulit sekali dihilangkan. Dari kasus perzinaan tersebut tentunya tidak sedikit yang menghasilkan keturunan. Dari sinilah Rasulullah SAW harus mengeluarkan peringatan keras dan mengancam para pelaku zina dengan dikeluarkan hadits tersebut. Peringatan keras tersebut tidak hanya mengancam pelaku pezina, tetapi juga berpotensi memberi dampak negatife bagi anak dan keturunannya.
Namun belakangan hadits tersebut mendapat tanggapan serius dari beberapa sahabat Nabi dan para Ulama. Pasalnya hadits yang mengancam keturunan pelaku zina tersebut seolah-olah bertentangan dengan dalil-dalil lain, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits. Selain itu juga seolah-olah bertentangan dengan nilai Islam yang rahmatan lil alamien. Untuk itulah, kiranya perlu sekali kita mengetahui lebih dalam sejauh mana arahan pegertian hadits di atas dan seperti apa dilalah hukumnya. Di dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لاَ يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ. [فاطر : 18]
"Dan orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lian) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang0orang yang takut kepada azab Tuhanya (sekalipun) mereka tidak melihatNya. Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan untuk dirinya sendiri. Dan kepada Allah lah kembali(mu)". (al-Fathir:18)
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa seseorang tidak akan bisa menanggung dosa orang lain sedikitpun dan Allah tidak akan membebankan dosa orang lain itu kepada siapapun meskipun dia dari kerabat. Kemudian di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman:
وَلا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلا عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. (الأنعام: 164)
"Dan tidaklah seorang membuat dosa melinkan kemudharatanya (dosanya) kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". (QS' al-An'am: 164)
Ayat ini juga menerangkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa, maka ia telah mencelakakn dirinya sendiri dan tidak bisa mencelakakan orang lain.
Dua ayat Al-Qur'an di atas secara garis besar dan tegas menunjukkan pengertian bahwa siapapun mereka tidak akan dibebani menanggung dosa orang lain meskipun dosa orang tuanya. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang mengatakan keturunan pezina tidak akan masuk surga?. Untuk itulah mari kita tela'ah pendapat-pendapat para Sahabat Nabi dan Ulama tentang dilalah atau arahan hadits Rasulullah SAW tersebut.
Pendapat Para Sahabat Nabi dan Ulama
A'isyah r.a istri Rasulullah berpendapat berkenanan dengan keturunan orang zina; "Anak pezina tidak akan menanggung sedikitpun dosa yang dilakukan kedua orang tuanya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyai: "Dan orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". (QS. Al-Fathir: 18). Juga dalam kesempatan yang lain A'isyah r.a pernah mendengar sabda Rasulullah SAW;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "وَلَدُ الزِناَ شَرُ الثلاَثَةِ إِذاَ عَمِلَ بِعَمَلِ اَبَوَيْهِ". (رواه البيهقى)
Rasulullah SAW bersabda: "Anak orang zina adalah orang ketiga yang berbuat kejelekan jika ia juga melakukan perbuatan orang tuanya". (HR. Al-Baihaqy)[1]
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW memberi sinyal bahwa, anak orang zina merupakan orang jelek ketiga setelah orang tuanya jika ia melakukan perbuatan zina seperti perbuatan orang tuanya. Mafhum mukhalafah (pengertian balik) dari hadits tersebut adalah, jika anak orang zina tidak melakukan perbuatan seperti perbuatan orang tuanya (tidak melakukan zina), maka dia tidak termasuk golongan orang jelek. Hadits dan pemahaman ini juga didukung oleh Ibnu Abbas dan Shofyan Ats-Tsaury, bahwa anak orang zina bisa masuk neraka jika ia juga melakukan perbuatan zina.[2] Demikianlah patutnya pengertian dari pada hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut.
Sedangkan menurut Syekh Abu Hatim dalam memahami hadits penafian anak zina adalah, bahwa hadits yang mengatakan "tidak masuk surga anak keturunan pezina" hanya berlaku menurut keumumannya. Artinya, seorang anak menurut kebiasaan umum tidak akan jauh dari watak dan kelakuan orang tuanya. Seandainya orang tuanya pencuri, maka anaknya juga berpotensi menjadi pencuri, begitu juga jika orang tuanya sering melakukan perbuatan zina, maka anaknya kelak juga berpotensi melakukan perbuatan zina. Itu berarti tidak semua keturunan pezina bisa difonis akan masuk neraka dikarenakan perbuatan orang tuanya. Sebab seorang anak tidak akan menanggung sedikitpun dosa yang dilakukan orang tuanya. Apa lagi justru tidak sedikit dari mereka (keturunan anak zina) yang justru beriman dan beramal shalih.[3]
Syekh Ibnu Taimiyyah saat ditanya tentang anak keturunan zina, beliau juga memberi jawaban sama dengan pendapat di atas. Beliau berkata: "Anak keturunan zina jika beriman dan beramal shalih tetap akan masuk surga. Dan jika tidak beriman dan atau tidak beramal shalih, maka akan dibalas sesuai dengan perbuatanya seperti yang lainya. Pembalasan Allah itu menurut amal perbuatan manusia, bukan karena keturunannya. Sedangkan keturunan orang zina diremehkan, karena biasanya ia berpotensi melakukan perbuatan seperti orang tuanya. Padahal tidak semuanya demikian. Dan makhluk yang paling mulya dihadapan Allah adalah yang paling takwa di antara mereka".[4]
Fitrah (Kesucian) Setiap Manusia
Dari penjelasan beberapa pendapat Sahabat Nabi dan Ulama di atas, kiranya dapat ditangkap bahwa seorang anak sedikitpun tidak akan ikut menanggung dosa yang dilakukan orang tuanya. Dan seorang anak tidak akan dilahirkan dalam keadaan sudah berdosa karena memikul dosa orang tuanya. Hal ini berpedoman pada hadits Rasulullah SAW;
عن أبي هريرة، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "كُل مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانَه وَيُنَصِّرَانَهُ وَيُمَجِّسَانَهُ" (رواه الشيخان فى صحيحيهما)
Diceritakan dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fathrah (suci). Maka kedua orang tuanya-lah yang membuatnya Yahudi, dan Nasrani, dan Majusi". (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Kitab Shahih Muslim juga terdapat hadits Kudsiy:
عن عِياض بن حمَار قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "يقول الله تعالى: إِنِي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ، فَجَاءَتْهُمُ الشَيَاطِيْنَ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ". (رواه مسلم فى صحيحه)
Diceritakan dari Iyad bin Hammar, Rasulullah SAW bersabda: Allah SAW berkata: "Sesungguhnya telah Aku jadikan hamba-hambaKu dalam keadaan condong (ke dalam kebaikan/Islam). Kemudian datanglah syaitan-syaitan dan menyesatkan dari agama mereka dan mengharamkan hal yang telah Aku halalkan". (HR. Muslim)
Dari keterangan dua hadits di atas, dapat ditangkap bahwa status seorang anak pada dasarnya semua diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan sempurna dan suci. Hal ini tidak memandang dari keturunan siapapun, bahkan dari keturunan orang non muslim sekalipun. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa pada saat peperangan, para sahabat juga membunuh anak-anak dari kaum musyrikin. Lalu Rasulullah SAW menegurnya dan mengeluarkan peringatan keras;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لاَ تَقْتُلُوْا ذُرِيةً، لاَ تَقْتُلُوْا ذُرِيةً, كُلُ نَسِمُةٍ تُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهَا يَهُوْدَانَهَا أَوْ يُنَصِرَانَهَا". (رواه أحمد والنسائي)
Rasulullah bersabda: "Jangan kamu bunuh keturunan mereka (musyrikin)! Jangan kami bunuh keturunan mereka! Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi dan Nashrani". (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)
Larangan Rasulullah SAW membunuh anak-anak kaum musyrik saat berperang merupakan perlindungan yang sempurna dan menyamakan mereka dengan anak-anak orang Islam yang pada dasarnya sama-sama diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan fathrah/suci. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Rum: 30:
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا..)الروم: 30(
"(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu". (Ar-Rum: 30)
Juga firman Allah dalam surat Al-A'raf ayat 172:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا. (الأعراف: 172)
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami) dan kami menjadi saksi". (QS. Al-A'raf: 172)
Itu berarti sebelum manusia lahir di muka bumi, mereka telah meng-Esakan Allah dan mengakuai Allah sebagai Tuhanya (fatrah). Hanya saja setelah mereka lahir dan menjalani kehidupan, mereka banyak yang tergoda dengan rayuan setan, sehingga ada yang beriman dan ada yang kafir (imma mu'minun wa imma kaafirun).
Dari beberapa uraian di atas, tentunya sangatlah tidak etis jika kita masih membeda-bedakan keturunan dan nasab, apa lagi membanggakan derajat orang tua. Cukup sudah bagi kita cerita tentang Nabi Nuh a.s, dimana putra beliau Kan'an adalah seorang yang sangat bertolak belakang. Bukan hanya tidak berkelakuan baik, namun juga tidak beriman kepada Allah SWT. Dan dalam kisah yang lain yaitu Nabi Ibrahim a.s, dimana beliau dilahirkan di lingkungan keluarga penyebah berhala. Namun pada kenyataanya Ibrahim tumbuh dengan keimanan di dada dan menjadi Nabi kekasih Allah SWT.
Namun sejauh itu, kita memang masih mengingat istilah pepatah; "Buah-buahan tidak akan jatuh jauh dari pohonya". Atau pepatah jawa yang lain: "wet kacang tukul melu lanjarane". Artinya secara kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat bahwa jika orang tuanya berkepribadian dan berkelakuan baik, maka biasanya anak cucunya juga berkelakuan baik. Dan jika orang tuanya berkelakuan jelek, maka biasanya keturunannya juga tidak jauh dari kelakuan orang tua. Inilah yang mendasari Rasulullah SAW mengatakan bahwa anak pezina tidak masuk surga. Artinya, jika anak tersebut mengikuti jejak orang tuanya dan tidak bertaubat sebelum meninggal. Selain itu, ancaman Rasulullah SAW sebagai bentuk peringatan keras bagi umatnya agar menjauhi perbuatan zina. Karena hal tersebut dapat berdampak pada kepribadian anak cucunya kelak.
Status Anak di Luar Nikah
Yang dimaksud dengan anak diluar nikah adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan gelap (zina). Dalam pada ini, kita akan meninjau status anak hasil hubungan gelap (zina) dari perspektif fikih. Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang anak hasil hubungan di luar nikah.
1. Nasab
Anak yang lahir dari hasil hubungan di luar pernikahan, menurut legalitas dalam kacamata Islam, maka ia tidak bisa mempunyai ayah dari segi nasab. Legalitas nasabnya dilimpahkan kepada ibu yang telah melahirkannya. Hal ini tidak memandang hubungan mereka (perempuan yang melahirkan dan laki-laki yang menghamili) berlanjut ke pernikahan atau tidak berlanjut. Artinya, meskipun hubungan mereka berlanjut ke pernikahan, laki-laki yang menghamili wanita tersebut tetap tidak bisa sebagai ayah (wali) secara Islam.[5] Itu artinya, dalam hal berurusan dengan masalah yang bersangkuntan dengan perwalian, anak hasil di luar pernikahan akan di limpahkan kepada ibunya. Hal ini berdasarkan sebuah hadits Rasulullah SAW;
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ. (رواه الترمذى)
Diceritakan dari Umar bin Syu'aib, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Manakala ada laki-laki melakukan hubungan (di luar pernikahan) dengan perempuan merdeka atau perempuan amat, maka anaknya adalah anak zina yang tidak bisa menerima warisan darinya atau diwaris olehnya". (HR. Turmudzi)
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menerangkan bahwa anak hasil zina tidak bisa menerima warisan dari laki-laki yang menghamili ibunya dan pula tidak bisa mewariskan hartanya kepada laki-laki tersebut. Dari hadits yang diriwayatkan tersebut, Abu Isa At-Tirmidzi menegaskan bahwa anak hasil zina tidak bisa mewarisi harta bapaknya (laki-laki yang menghamili). Hal ini dikarenakan antara anak hasil zina dan laki-laki yang menghamili ibunya secara hukum Islam tidak ada hubungan nasab.[6]
2. Tanggung Jawab Pembiayaan/Nafaqah
Dikarenakan anak hasil hubungan di luar pernikahan secara nasab dinisbatkan kepada ibunya, maka segala bentuk tanggungjawab yang berhubungan dengan biaya hidup dari anak tersebut akan dilimpahkan kepada ibunya dan saudara-saudara dari ibunya.
[1]. Dalam Mujma' al Kabir li at-Tabrany juga terdapat hadits sama dari Ibnu Abbas r.a (9, 154)
[2]. Baihaqy Sunan al Kubra, Jilid: X, Hal: 58
[3]. Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, Jilid: 14, Hal: 267
[4]. Ibnu Taimiyyah, Fatawi al-Kubra, Jilid: VII, Hal: 151)
[5]. Muhammad Syatha, I'anatutthalibien, Jilid II, Hal: 146
[6]. Abu Isa, Sunan at-Tirmidzi, Jilid: VII, Hal: 475
SEJARAH WAHABI
SEJARAH WAHABI
Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya,:
1. Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
2. I'tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher,
3. Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha'i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya.
Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama' besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa'iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi'i, menulis surat berisi nasehat:
"Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A'dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin."
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : "Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama'ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?? Dengan segera dia menjawab, "Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan" Lelaki itu bertanya lagi "Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu person pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.
Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar'iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata : "Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali".
Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya. Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka?bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma?la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut. Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa?ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi.
Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi?i yang sudah mapan.
Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma?la (Mekkah), di Baqi' dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta, namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International maka dibangun perpustakaan. Kaum Wahabi benar-benar tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam.
Semula AI-Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad SAW dimakamkan juga akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah tapi karena ancaman International maka orang-orang biadab itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya. Begitu pula seluruh rangkaian yang menjadi manasik haji akan dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan digeser tapi karena banyak yang menentangnya maka diurungkan.
Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah SAW dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Bahkan sekarang, tempat kelahiran Nabi SAW terancam akan dibongkar untuk perluasan tempat parkir. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu digusur. Padahal, disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta Khadijah meninggal.
Islam dengan tafsiran kaku yang dipraktikkan wahabisme paling punya andil dalam pemusnahan ini. Kaum Wahabi memandang situs-situs sejarah itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Pada bulan Juli yang lalu, Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1.400 tahun Itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah.
"Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun tempat parkir," katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir. Bahkan sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada 1932. Hal tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis, ?Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala.
Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Ar-Rasul SAW. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh modernisasi ala Wahabi. Sebaliknya mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata. Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.
Gerakan wahabi dimotori oleh para juru dakwah yang radikal dan ekstrim, mereka menebarkan kebencian permusuhan dan didukung oleh keuangan yang cukup besar.
Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid?ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan, mereka tak pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri. Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para Wali Songo yang menyebarkan dan meng-Islam-kan penduduk negeri ini.
Mereka mengatakan ajaran para wali itu masih kecampuran kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu telah meng-Islam-kan 90 % penduduk negeri ini. Mampukah wahabi-wahabi itu meng-Islam-kan yang 10% sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari terkaman orang kafir saja tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 % sisanya. Justru mereka dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang dengan nyata bertauhid kepada Allah SWT.
Jika bukan karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo untuk berdakwah ke negeri kita ini, tentu orang-orang yang menjadi corong kaum wahabi itu masih berada dalam kepercayaan animisme, penyembah berhala atau masih kafir. (Naudzu billah min dzalik).
Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-aku sebagai faham yang hanya berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka berdalih mengikuti keteladanan kaum salaf apalagi mengaku sebagai golongan yang selamat dan sebagainya, itu semua omong kosong belaka.
Mereka telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah dengan membantai ribuan orang di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz (yang sekarang dinamakan Saudi). Tidakkah anda ketahui bahwa yang terbantai waktu itu terdiri dari para ulama yang sholeh dan alim, bahkan anak-anak serta balita pun mereka bantai di hadapan ibunya. Tragedi berdarah ini terjadi sekitar tahun 1805.
Semua itu mereka lakukan dengan dalih memberantas bid'ah, padahal bukankah nama Saudi sendiri adalah suatu nama bid'ah? Karena nama negeri Rasulullah SAW diganti dengan nama satu keluarga kerajaan pendukung faham wahabi yaitu As-Sa'ud.
Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih BUKHARI & MUSLIM dan lainnya. Diantaranya: "Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana," sambil menunjuk ke arah timur (Najed). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan)
"Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur'an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur (Gundul)." (HR Bukhari no 7123, Juz 6 hal 20748). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Hibban.
Nabi SAW pernah berdo'a: "Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman," Para sahabat berkata: Dan dari Najed, wahai Rasulullah, beliau berdo'a: Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW bersabda: "Di sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk syaitan.", Dalam riwayat lain dua tanduk syaitan.
Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya.
Seperti yang telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal: "Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah SAW itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid'ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian Al-Allamah Sayyid AIwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah AI-Haddad menyebutkan dalam kitabnya Jala'udz Dzolam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi SAW: "Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah BANY HANIFAH seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin". AI-Hadits.
BANY HANIFAH adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Saud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid AIwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun mengenai sabda Nabi SAW yang mengisyaratkan bahwa akan ada keguncangan dari arah timur (Najed) dan dua tanduk setan, sebagian, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad Ibn Abdil Wahab.
Pendiri ajaran wahabiyah ini meninggal tahun 1206 H / 1792 M, seorang ulama' mencatat tahunnya dengan hitungan Abjad: "Ba daa halaakul khobiits" (Telah nyata kebinasaan Orang yang Keji) (Masun Said Alwy)
Langganan:
Postingan (Atom)