Selasa, 27 Maret 2012

KHILAFIYAH

Haruskah Umat Islam Berpecah Karena Perbedaan Pendapat?

"Sudahlah jangan saling menyalahkan, ini khan permasalahan khilafiyah. Biarlah dia lakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar“. Demi Allah, ketahuilah, perkataan yang sering kita dengar ini adalah perkataan yang kurang tepat.

Ketahuilah ikhwah fillah, bila kita melihat kemungkaran maka wajib bagi kita untuk mengubahnya dengan kemampuan yang kita miliki. Entah itu dengan kekuasaan, dengan lisan atau hanya sekedar mendoakan. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, bila tidak mampu, ubahlah dengan lisan, bila tidak mampu ubahlah dengan hati, namun yang demikian adalah selemah-lemahnya iman” (HR.Muslim)

Maka barangsiapa melihat kemungkaran wajib baginya memberikan nasehat pada yang berbuat kemungkaran. Lebih lagi jika orang tersebut adalah teman kita, saudara kita seiman, sesama muslim, maka lebih berhak dan lebih penting lagi untuk kita nasehati. Apakah kita berdiam diri bila saudara kita yang kita cintai terjerumus dalam kemungkaran? Maka perkataan “Sudahlah jangan mengurusi orang lain. Urus saja diri sendiri. Biar saja dia lakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar” adalah kurang tepat. Sikap cuek dan berdiam diri seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
Namun tentunya nasehat harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan hikmah, kasih sayang, dengan ilmu, dan cara yang baik dan efektif. Bukan mencela, menghujat atau menghinanya. Inilah yang sesuai sunnah. Karena tentunya dengan nasehat tadi kita berharap orang yang dinasehati kembali kepada kebaikan dan kebenaran. Bukan ingin membuatnya terpuruk dan terhina. Jika harus berdiskusi maka berdiskusilah dengan baik, dengan landasan dalil-dalil dan pemahaman yang benar, bukan berdasar atau rasa benci dan hawa nafsu belaka. “Serulah (manusia) ke jalan Robbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Kemudian tentang khilafiyah, banyak orang yang salah dalam menyikapinya. Banyak orang yang tatkala menghadapai khilafiyah, tidak mau mencari pendapat yang benar, tidak mau mempelajari, malah bersikap acuh dengan berkata “Sudahlah jangan diperdebatkan, ini khan permasalahan khilafiyah“. Seolah semuanya benar tidak ada yang salah, dan malah membenci orang yang mencari pendapat yang paling mendekati kebenaran. Ini adalah sebuah kekeliruan. Kenapa? Karena tidak semua khilafiyah itu bisa ditoleransi. Kita hanya wajib bertoleransi dan saling menghargai pada khilafiyah yang mu’tabar (yang dianggap). Bila pada semua khilafiyah kita bertoleransi maka sungguh kacau agama ini jadinya. Ketahuilah diantara ummat muslim ada yang menganggap shalat wajib 5 waktu itu tidak wajib. Itu pendapat mereka. Ada juga yang berpendapat memakai jilbab bagi wanita itu tidak wajib. Adanya pendapat seperti itu menjadikan hal ini khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat). Nah, apakah ini juga bertoleransi terhadap khilafiyah seperti ini? Apakah bila ada orang yang tidak sholat kemudian kita berkata “Sudahlah biar saja, itu khan pendapat dia“. Masya Allah. Padahal Rasulullah berkata bahwa shalat adalah batas antara iman dan kufur.

Kemudian sebagian orang salah dalam mengartikan permasalahan ushul (pokok) dan furu’(cabang). Ada yang berkata masalah aqidah adalah ushul, fiqih adalah furu. Jadi menurut mereka dalam masalah aqidah tidak boleh berbeda pendapat, dalam fiqih boleh berbeda pendapat dan harus ditoleransi bila ada yang berbeda. Ini sebuah kekeliruan. Misal, permasalahan tentang Allah bisa dilihat oleh hamba2-Nya nanti di akhirat adalah ushul, tidak boleh ada yang mengingkari dan semua ulama telah sepakat. Namun, tentang apakah Rasulullah melihat Allah saat Isra Mi’raj adalah furu’, para ulama berbeda pendapat, padahal masalah aqidah juga. Kemudian, masalah makmum shalat maghrib membaca Al-Fatihah atau tidak, ini furu’, para ulama berbeda pendapat. Namun masalah wajibnya shalat Maghrib, ini ushul, tidak boleh ada yang mengingkari, padahal sama-sama masalah fiqih. Maka sebenarnya tidak ada patokan yang jelas untuk membedakan mana ushul, mana furu’. Namun dari studi kasus di atas patokan yang bisa kita pegang adalah, bila sudah ada dalil yang jelas dan shahih dan disepakati para sahabat dan ulama terdahulu, maka ini ushul. Dan bila terdapat dalil, namun ada kecenderungan untuk dipahami berbeda oleh para ulama terdahulu dan para sahabat, maka ini furu’. Jadi, tidak semua khilafiyah itu mu’tabar (dianggap). Banyak khilafiyah yang tidak mu’tabar (dianggap) atau dengan kata lain di acuhkan oleh para ulama karena sudah jelas salahnya. Maka, dalam masalah ini khilafiyah dapat dibagi 3 macam:

1. Khilafiyah yang sudah jelas salahnya, karena menyelisihi Qur’an dan Sunnah Contohnya seperti khilafiyah tentang wajibnya shalat yang sudah disebutkan di atas. Maka khilafiyah yang sudah jelas terdapat dalil shahih dari Qur’an dan Sunnah yang maknanya tidak bisa dita’wil (diselewengkan) kesana-kemari, wajib untuk diingkari. Barangsiapa yang menyelisihi Qur’an dan Sunnah padahal maksudnya sudah jelas, maka sama saja ia meragukan kebenaran Qur’an dan Sunnah dan ini adalah sebuah kekufuran. Maka khilafiyah seperti ini wajib diingkari, tidak boleh ditoleransi sama sekali.

2. Khilafiyah yang tidak menyelisihi sunnah, namun bisa ditarjih. Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah, namun setelah diteliti oleh para ulama ternyata dalil yang dipakai ada yang kuat dan ada yang lemah. Maka dalam hal ini bisa dilakukan tarjih, yaitu memilah pendapat yang didasari pada dalil2 yang kuat (rajih) saja. Alhamdulillah, para ulama dari sejak dahulu hingga sekarang sangat pernhatian dan serius dalam meneliti riwayat dan derajat hadist serta berhati-hati dalam pengambilan dalil, dan mereka sudah menjelaskannya dalam berbagai kitab-kitabnya. Untuk mengetahui mana pendapat yang kuat dan mana yang lemah kita tinggal mempelajari kitab-kitab mereka -rahimahumullah. Maka dalam hal ini WAJIB mengingkari pendapat yang lemah dan mengambil pendapat yang lebih rajih (kuat). Bertoleransi kepada orang yang mengamalkan pendapat yang lemah tadi, padahal ia sudah tahu pendapat itu lemah, adalah tercela. Namun kita tetap tidak boleh mencela ulama yang memiliki pendapat lemah. Karena Rasulullah bersabda: “Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian berijtihad maka jika benar ia mendapat dua pahala. Namun jika salah, baginya satu pahala.” (HR. Al Bukhori). Namun pendapat lemah nya tetap kita tinggalkan.

3. Khilafiyah yang tidak menyelisihi Qur’an dan Sunnah, namun tidak bisa ditarjih Kadang ada perbedaan pendapat yang semuanya berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah dan semuanya shahih dan kuat, sehingga sulit ditarjih. Maka di sinilah baru berlaku perkataan “Sudahlah jangan saling menyalahkan, ini khan permasalahan khilafiyah. Biarlah dia lakukan apa yang dianggap benar dan kamu lakukan yang kamu anggap benar“. Karena dalam khilafiyah yang seperti ini HARAM mengingkari pendapat yang lain, artinya tidak boleh mencela pendapat yang lain, karena ia berdasarkan dalil yang shahih juga. Kemudian wajib menghargai pendapat yang berbeda, saling bertoleransi dan boleh mengambil salah satu pendapat yang lebih cenderung kepadanya atau boleh juga tidak mengambil sama sekali pendapat-pendapat tersebut. Ikhwah fillah, bila antum pernah mendengar hadist “Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat” maka ketahuilah bahwa ini adalah hadist palsu, baik sanad dan matan(isi)-nya. Dari segi sanad, Syaikh Al Albani rohimahulloh berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya (anonim).” (dalam kitab Silsilah Hadits-hadits Lemah dan Palsu). Dari segi isinya, ini sangat bertentangan dengan banyak dalil bahwa perbedaan dan perselisihan adalah keburukan, bukan rahmat. Ibnu Hazm berkata tentang hadist ini: “Ini merupakan perkataan yang paling rusak. Karena jika perbedaan adalah rahmat tentunya persatuan merupakan hal yang dibenci. Ini jelas bukan perkataan seorang muslim. Karena kemungkinan hanya dua, bersatu maka dirahmati Alloh atau berselisih sehingga Alloh murka.” (dalaml kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam). Juga Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perselisihan itu jelek.” (Shohih, riwayat Abu Dawud). Dan Allah juga berfirman:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imron: 105)

Perbedaan asalnya adalah tercela, maka janganlah kita membiarkannya dengan sikap cuek dan berkata “Sudahlah jangan berselisih“. Seharusnya yang kita lakukan adalah berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi perbedaan yang ada dengan menyatukannya di atas kebenaran, bukan persatuan yang sembarangan, yaitu dengan mengembalikannya kepada Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat dan ulama yang mutamakkin. Allah SWT berfirman:

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya).” (QS. An Nisa`: 59)

Maka bila ada beberapa pendapat tentang sesuatu, hendaknya teruslah mengkaji, mempelajari, mencari ilmu, berdiskusi, menjelaskan ilmu maka Insya Allah akan ditemui pendapat yang paling mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat itu. Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk. Wallohu A’lam bish-Showab, smg bermanfa’at

Tidak ada komentar:

Posting Komentar