Sabtu, 07 April 2012

MEWASPADAI KUFUR TANPA SADAR

Kaum Musyabbihah (wahabi sekarang)  memiliki kerancuan yang sangat menyesatkan, menyebutkan jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. 
Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka 
menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: ”Pendapat yang mengatakan bahwa 
Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama 
saja dengan menafikan wujud Allah”. 
Cukup untuk membantah kesesatan mereka 
ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan 
benda; Dia bukan benda berbentuk kecil 
juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh 
karena Dia bukan benda maka keberadaan- 
Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa 
tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan 
bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para 
ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah 
dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al- 
Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal 
Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan 
keyakinan tentang kesucian Allah dari 
menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan 
kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. 
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah 
dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali 
tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat 
makhluk seperti; baru, gerak, diam, 
berkumpul, berpisah, bertempat, menempel 
dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya, 
ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil 
bagi Allah. 
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali 
dengan sangat tegas mengatakan bahwa 
Allah tidak boleh disifat dengan menempel 
atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini: 
“Bila ada yang berkata bahwa menafikan 
arah dari Allah sama saja dengan menafikan 
keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini: 
”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang 
ada itu harus menerima sifat menempel dan 
terpisah maka pendapat kalian ini benar, 
namun demikian bahwa Allah mustahil dari 
sifat menempel dan terpisah juga benar dan 
dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian 
memaksa kami untuk menetapkan sesuatu 
yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab: 
”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang 
dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu 
yang dapat dikhayalakan dan digambarkan 
oleh akal, maka ketahuilah bahwa 
sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan 
seperti itu karena Allah bukan benda yang 
memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, 
segala apapun yang dikhayalkan dan 
digambarkan oleh akal pastilah merupakan 
benda yang memiliki warna dan memiliki 
ukuran, karena khayalan dan gambaran akal 
itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang 
diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran 
akal ini tidak dapat membayangkan apapun 
kecuali segala apa yang pernah diindra oleh 
mata karena gambaran adalah buah dari 
penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut 
tidak dapat diterima oleh akal, maka kita 
jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada 
tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima 
oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu 
tidak memiliki alasan untuk menolak 
terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, 
ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang 
pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis 
nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan 
arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan 
atau berpindah-pindah” (Lihat al-Baz al- 
Asyhab, h. 59). 
Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan 
yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al- 
Haitami berkata sebagai berikut: 
“Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa 
keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat 
menempel dan terpisah adalah bahwa 
sesuatu tersebut pastilah merupakan benda 
dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan 
dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya 
tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamad; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat 
hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut) 
maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan 
darinya” (lihat al-I’lam Bi Qawathi’ al-Islam pada tulisan pinggir kitab al-Zawajir, j. 2, h. 43-44). 
Al-Imâm al-Hafizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thalibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imam al-Mutawalli berkata: atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu 
bagi Allah yang secara Ijma’ telah ditetapkan 
bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan 
terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat Raudlah al-Thalibin, j. 10, h. 64). 
Anda lihat kutipan al-Imam an-Nawawi dari al-Imam al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Wallahu a'lam a ketahui bahwa al- 
Imâm al-Mutawalli ini adalah seorang yang 
telah mencapai derajat Ash-hâb al-Wujûh 
dalam madzhab Syafi’i; adalah derajat 
keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di 
bawah derajat para Mujtahid Mutlak. 
Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al- 
Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, 
yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad 
Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai 
berikut: 
“al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad 
ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak 
dikatakan di dalam alam ini juga tidak 
dikatakan di luarnya? yang bertanya ini 
kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah 
tidak di dalam alam juga tidak di luar alam 
telah kami dengar dari beberapa guru kami. 
Ada sebagian orang yang menyanggah hal 
ini dengan mengatakan bahwa pernyataan 
tersebut sama juga menafikan dua keadaan 
yang berlawanan. Ada pula sebagian orang 
yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah 
segala sesuatu dalam pengertian bahwa 
Allah menyatu dengan alam. Pendapat 
terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat 
al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat 
sebagian orang menyatakan bahwa 
pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang 
rancu dan sia-sia, serta tidak layak 
dipertanyakan demikian bagi Allah. 
Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia 
menjawab demikian atas pertanyaan 
tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam 
alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia 
tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al- 
Risâlah. 
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab: 
”Akidah yang kita nyatakan dan yang kita 
pegang teguh serta yang kita yakini 
sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam 
alam juga tidak di luar alam.
BARAKALLAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar