Kaum Musyabbihah (wahabi sekarang) memiliki kerancuan yang sangat menyesatkan, menyebutkan jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah.
Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka
menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: ”Pendapat yang mengatakan bahwa
Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama
saja dengan menafikan wujud Allah”.
Cukup untuk membantah kesesatan mereka
ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan
benda; Dia bukan benda berbentuk kecil
juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh
karena Dia bukan benda maka keberadaan-
Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa
tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan
bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para
ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah
dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-
Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal
Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan
keyakinan tentang kesucian Allah dari
menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan
kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah
dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali
tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat
makhluk seperti; baru, gerak, diam,
berkumpul, berpisah, bertempat, menempel
dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya,
ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil
bagi Allah.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali
dengan sangat tegas mengatakan bahwa
Allah tidak boleh disifat dengan menempel
atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini:
“Bila ada yang berkata bahwa menafikan
arah dari Allah sama saja dengan menafikan
keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini:
”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang
ada itu harus menerima sifat menempel dan
terpisah maka pendapat kalian ini benar,
namun demikian bahwa Allah mustahil dari
sifat menempel dan terpisah juga benar dan
dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian
memaksa kami untuk menetapkan sesuatu
yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab:
”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang
dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu
yang dapat dikhayalakan dan digambarkan
oleh akal, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan
seperti itu karena Allah bukan benda yang
memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya,
segala apapun yang dikhayalkan dan
digambarkan oleh akal pastilah merupakan
benda yang memiliki warna dan memiliki
ukuran, karena khayalan dan gambaran akal
itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang
diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran
akal ini tidak dapat membayangkan apapun
kecuali segala apa yang pernah diindra oleh
mata karena gambaran adalah buah dari
penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut
tidak dapat diterima oleh akal, maka kita
jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada
tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima
oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu
tidak memiliki alasan untuk menolak
terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah,
ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang
pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis
nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan
arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan
atau berpindah-pindah” (Lihat al-Baz al-
Asyhab, h. 59).
Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan
yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-
Haitami berkata sebagai berikut:
“Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa
keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat
menempel dan terpisah adalah bahwa
sesuatu tersebut pastilah merupakan benda
dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan
dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya
tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamad; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat
hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut)
maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan
darinya” (lihat al-I’lam Bi Qawathi’ al-Islam pada tulisan pinggir kitab al-Zawajir, j. 2, h. 43-44).
Al-Imâm al-Hafizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thalibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imam al-Mutawalli berkata: atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu
bagi Allah yang secara Ijma’ telah ditetapkan
bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan
terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat Raudlah al-Thalibin, j. 10, h. 64).
Anda lihat kutipan al-Imam an-Nawawi dari al-Imam al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Wallahu a'lam a ketahui bahwa al-
Imâm al-Mutawalli ini adalah seorang yang
telah mencapai derajat Ash-hâb al-Wujûh
dalam madzhab Syafi’i; adalah derajat
keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di
bawah derajat para Mujtahid Mutlak.
Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-
Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka,
yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad
Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai
berikut:
“al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad
ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak
dikatakan di dalam alam ini juga tidak
dikatakan di luarnya? yang bertanya ini
kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah
tidak di dalam alam juga tidak di luar alam
telah kami dengar dari beberapa guru kami.
Ada sebagian orang yang menyanggah hal
ini dengan mengatakan bahwa pernyataan
tersebut sama juga menafikan dua keadaan
yang berlawanan. Ada pula sebagian orang
yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah
segala sesuatu dalam pengertian bahwa
Allah menyatu dengan alam. Pendapat
terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat
al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat
sebagian orang menyatakan bahwa
pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang
rancu dan sia-sia, serta tidak layak
dipertanyakan demikian bagi Allah.
Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia
menjawab demikian atas pertanyaan
tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam
alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia
tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-
Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab:
”Akidah yang kita nyatakan dan yang kita
pegang teguh serta yang kita yakini
sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam
alam juga tidak di luar alam.
Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka
menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: ”Pendapat yang mengatakan bahwa
Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama
saja dengan menafikan wujud Allah”.
Cukup untuk membantah kesesatan mereka
ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan
benda; Dia bukan benda berbentuk kecil
juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh
karena Dia bukan benda maka keberadaan-
Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa
tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan
bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para
ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah
dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-
Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal
Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan
keyakinan tentang kesucian Allah dari
menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan
kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah
dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali
tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat
makhluk seperti; baru, gerak, diam,
berkumpul, berpisah, bertempat, menempel
dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya,
ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil
bagi Allah.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali
dengan sangat tegas mengatakan bahwa
Allah tidak boleh disifat dengan menempel
atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini:
“Bila ada yang berkata bahwa menafikan
arah dari Allah sama saja dengan menafikan
keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini:
”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang
ada itu harus menerima sifat menempel dan
terpisah maka pendapat kalian ini benar,
namun demikian bahwa Allah mustahil dari
sifat menempel dan terpisah juga benar dan
dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian
memaksa kami untuk menetapkan sesuatu
yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab:
”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang
dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu
yang dapat dikhayalakan dan digambarkan
oleh akal, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan
seperti itu karena Allah bukan benda yang
memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya,
segala apapun yang dikhayalkan dan
digambarkan oleh akal pastilah merupakan
benda yang memiliki warna dan memiliki
ukuran, karena khayalan dan gambaran akal
itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang
diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran
akal ini tidak dapat membayangkan apapun
kecuali segala apa yang pernah diindra oleh
mata karena gambaran adalah buah dari
penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut
tidak dapat diterima oleh akal, maka kita
jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada
tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima
oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu
tidak memiliki alasan untuk menolak
terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah,
ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang
pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis
nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan
arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan
atau berpindah-pindah” (Lihat al-Baz al-
Asyhab, h. 59).
Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan
yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-
Haitami berkata sebagai berikut:
“Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa
keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat
menempel dan terpisah adalah bahwa
sesuatu tersebut pastilah merupakan benda
dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan
dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya
tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamad; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat
hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut)
maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan
darinya” (lihat al-I’lam Bi Qawathi’ al-Islam pada tulisan pinggir kitab al-Zawajir, j. 2, h. 43-44).
Al-Imâm al-Hafizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thalibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imam al-Mutawalli berkata: atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu
bagi Allah yang secara Ijma’ telah ditetapkan
bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan
terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat Raudlah al-Thalibin, j. 10, h. 64).
Anda lihat kutipan al-Imam an-Nawawi dari al-Imam al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Wallahu a'lam a ketahui bahwa al-
Imâm al-Mutawalli ini adalah seorang yang
telah mencapai derajat Ash-hâb al-Wujûh
dalam madzhab Syafi’i; adalah derajat
keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di
bawah derajat para Mujtahid Mutlak.
Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-
Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka,
yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad
Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai
berikut:
“al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad
ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak
dikatakan di dalam alam ini juga tidak
dikatakan di luarnya? yang bertanya ini
kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah
tidak di dalam alam juga tidak di luar alam
telah kami dengar dari beberapa guru kami.
Ada sebagian orang yang menyanggah hal
ini dengan mengatakan bahwa pernyataan
tersebut sama juga menafikan dua keadaan
yang berlawanan. Ada pula sebagian orang
yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah
segala sesuatu dalam pengertian bahwa
Allah menyatu dengan alam. Pendapat
terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat
al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat
sebagian orang menyatakan bahwa
pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang
rancu dan sia-sia, serta tidak layak
dipertanyakan demikian bagi Allah.
Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia
menjawab demikian atas pertanyaan
tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam
alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia
tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-
Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab:
”Akidah yang kita nyatakan dan yang kita
pegang teguh serta yang kita yakini
sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam
alam juga tidak di luar alam.
BARAKALLAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar